Selamat Datang, selamat menikmati fasilitas kami

Kamis, 07 Juni 2012

Pertama kali: Hanya Tentang Nama


            Well, ini adalah kali pertamanya saya akan mulai bercerita tentang apa saja yang menimpa hari-hariku. Saya akan mulai dari hari ini, (jam 6:68, jumat, di bulan Juni, maaf banget kak Frans, ini tulisan pertama saya di hari terakhir sebelum ujian di mulai, parah banget ‘kan?...hehe...Baca: semoga kak Fransnya nggak baca) sampai kelak ketika saya tidak dapat lagi bercerita (tepatnya mungkin saat tua, saat saya tidak bisa lagi mengetik, atau mungkin saya harus meminta kepada para cucu untuk mengaksarakan isi kepalaku lalu saya bagikan pada kalian semua, bukan begitu bukan?). Aduh, tampaknya saya begitu serius memproklamasikannya pemirsa, hihi.
           Baik, karena ini adalah awal kita bertemu di sesi curhat. Maka, agar tidak terjadi kesalahpahaman, saya harus berbaik hati menyaring, maaf maksudnya saya akan sharing profil lengkap pada kalian. Perkenalkan, saya si Fitri, lengkapnya Wa Ode Fitria. Well, sebelum kita masuk pada materi pelajaran hari ini, ada baiknya saya ceritakan asal mula lahirnya nama saya. Waduh, kata-kata saya mirip guru-guru pada umunya ya? Hehe.. maklum saja, saya adalah calon guru masa depan pemirsa, jadi saya harus membiasakan diri dengan kata-kata pengantar guru pada umumnya.
          Ok. Kembali ke topik. Baik, nama (baca: Wa Ode Fitria) adalah asli, original, fakta, tidak dibuat-buat, (lha! bukannya memang di buat?) dengan serius, diberikan, diserahkan, (maaf, dalam hal ini tidak dengan paksaan), diproklamasikan oleh kedua orang tua saya tepatnya setelah saya berhasil dibrojolkan. Hehe,  dua jari ya Mam, dua jari ya Pak.
           Oh ya, nama dengan tiga kata itu tentu punya sejarah juga loh. Ya, ya, ya, saya percaya bahwa mama dan bapak saya begitu teliti memilihkan jimat buat anak pertamanya ini. Bagaimana tidak, menurut sumber yang bisa dipercaya, saya sangat dinanti-nantikan oleh kedua orang tuaku (Ya, iyalah. Namanya juga anak, pasti dinanti-nantikan dong. Lhaaa!). Jadi nama (baca lagi: Wa Ode Fitria) yang finally, jadi juara saat-saat menegangkan dalam pemilihan nama. (Begh..kaya apa saja) hehe.
          Nama. Ya, bagi siapa saja yang tinggal di daratan Sulawesi Tenggara, maka saya tidak perlu kiranya menjelaskan dua kata di awal nama saya itu. Tetapi, bagi yang tinggalnya di luar Sulawesi tenggara, Sabang sampai Merauke (lagi-lagi Sulawesi tidak termasuk), plus Korea Selatan (negara favorit), dengan senang hati saya akan ceritakan pada kalian perihal silsilah dua kata itu. Ya, dua hanya kata, maaf maksud saya, hanya dua kata.
            Baik, tolong disimak ya, kurang lebih begini. Pada zaman dahulu kala, saat belum ada air, belum ada tumbuhan, belum ada padi, apalagi beras, (apa mi pale yang ada), maksud saya belum ada kehidupan. Dan pada waktu yang sama, saya pun belum ada. Oleh sebab itu, setelah adanya air, maka tananman pun tumbuh, padi ditanam dan akhirnya beras pun dijual di pasar. Mulailah, pada saat itu Tuhan ciptakan satu putri berparas manis, lewat rahim seorang wanita yang lebih manis. Itulah saya dan mama. Sama-sama manis, percaya deh! (Hihi, promosi kali?!) Baik, putri yang berparas manis tapi sering tertimpa kemalangan itu pertama-tama diberi nama Ode Fitria. Karena ada dua kata, maka tentu ada dua alasan.
            Kata pertama adalah sebuah gelar. Biar saya eja, G (ji). E (i) .L (el) .A (ei) .R (a:), ya gelar kehormatan untuk suku buton di Sulawesi Tenggara. Maka ada baiknya saya berbangga dulu karena nama saya. hihihi. Nah, oleh karena saya diberi gelar kehormatan, maka seharusnya saya tahu alasan dan silsilah mengapa di-‘Ode’-kan nama saya. Dan memang, kenyataannya saya tidak tahu. What? Ya, saya tidak tahu. Meskipun begitu, setidaknya, saya bisa cari tahu ya? Tetapi maaf-maaf saja, saya tidak pernah melakukannya. Why? Sebab, nenek moyang saya dahulu kala tidak hobi menulis. Jadi, bukan salah saya dong kalau tidak bisa melacak gelar kehormatan yang sudah orang tua saya berikan. (ssstttt..., jangan bilang siapa-siapa ya, ini hanya rahasia kalau sebenarnya gelar itu adalah bukan orang tua saya yang berikan. Melainkan dipaksa oleh kakekku. Hehe, pada akhirnya ternyata saya, tepatnya nama saya adalah korban pemaksaan zaman dahulu juga ya.) nah, Jadilah nama saya ada gelar kehormatannya. Seperti itu saja, hehe.
              Selanjutnya, baca: Fitri + a. baik, saya hanya akan jelaskan Fitri tidak di+ a. Tolong untuk tidak bertanya yah. Seperti ini, di dalam kurun waktu satu tahun, maka untuk orang yang beragama Islam tentu akan merayakan dua hari raya. Urutan kedua hari raya itu adalah hari raya idul adha dan urutan pertama hari raya itu adalah hari raya idul FITRI. Sepertinya sudah mulai ada kejelasan ya. Hehe. Begitulah, mungkin kalian akan berpikir saya lahir di hari raya tersebut. Dan sayangnya, tembakkan kalian tidak meleset, pas kena sasaran, ywaaa...sepertinya kalian-kalian itu benar-benar adalah para sniper ya? Ayo ngaku..cepat! kalau tidak (tampar pipi sendiri, auh..sakit). hehe.
             Begitulah, saya melahirkan, maaf maksudnya saya dilahirkan tepat ketika takbir lebaran di subuh hari digemakan. Saat itu, mama sedang bersiap-siap hendak memasak gulai ayam kesukaan bapak. Tetapi, karena saya merengek untuk segera keluar hendak lebaran bersama. Maka, mama dengan rendah hati meninggalkan masakannya dan berjuang dengan sekuat tenaga mempertaruhkan segalanya, jiwa dan raga untuk segera mengeluarkan saya. Karena nama saya tidak dipersiapkan jauh hari sebelumnya, seperti kebiasaan para artis Indonesia. Maka, mamah dan bapak memberanikan diri memberi nama FITRI, untuk menandakan hari lahir saya. waktu itu kakek datang, dengan merayu, ia berkata “karena anak kalian adalah cucu pertama saya, maka selipkan kata ‘Ode’ di depan nama yang kalian berikan.” Lalu dengan seenaknya pergi sambil tertawa membahana. Kayak perannya raja di pilem-pilem itu. hehe. Jadilah nama saya Ode + Fitri + a(nya) melekat pada kata fitri. Kurang lebih seperti itu kaidah nama saya.
             Masih ada yang kurang bukan? Ya. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa Ode Fitria  merupakan nama pertama saya, maka nama kedua saya hanya ditambahkan dua fonem /w/ dan /a/ di depan kata Ode. Layaknya dua kata dalam nama saya sebelumnya, maka pada kata terakhir yang juga sengaja ditempatkan di depan itu memiliki silsilah tidak kalah ribetnya (wong, cuman nama doang, dibuat ribet).
           Tepatnya tahun 1999 silam, Maluku berdarah. (Apa hubungannya? Diam. Baca saja, hehe). Meskipun kita belum sampai pada perkenalan asal saya, tetapi biar saya bocorkan. Saya berasal, maaf tepatnya lahir di Maluku, Pakarena. Makanya, saya sangkut-pautkan dengan kejadian tiga belas tahun lalu. Persis ketika saya baru saja senang-senangnya naik ke kelas dua SD. Terpaksa saya harus cepart-cepat pindah karena insiden mengerikan itu. Bapak tidak ingin membiarkan Istri dan anaknya menyaksikan pemenggalan kepala, penembakan masal, pembakaran rumah, ruko, gedung, juga warung. Untunglah bapak yang kerja menjadi masinis di sebuah kapal milik saudara itu bergegas mengumumkan untuk melakukan pelayaran, mengungsi ke bagian lain dibelahan tenggara Sulawesi. Maka, berangkatlah kita dengan menumpangi sebuah kapal tempat bapak kerja itu.
            Dua hari berlalu, pada saat senja menguning, kapal kami tiba di sebuah pulau, kampung halaman kakek, Tomia, Wakatobi.  Kami menjadi eksodus di Tomia, karena sebagian besar warga Pakarena juga memiliki keluarga di Tomia. Jadilah kehidupan kami di mulai kembali. Perasaan takut akan bunyi tembakan juga bom, semakin surut karena sambutan hangat bercampur haru masyarakat Tomia. Akhirnya, kami para eksodus kembali hidup dalam kedamaian.
            Saya waktu itu tepat berumur enam tahun lebih. Baru berapa hari saya naik ke kelas dua SD dan akhirnya melakukan pindahan. Di  Tomia, saya kembali melanjutkan sekolah. hingga saat itulah insiden penambahan kata pada awal nama saya terjadi. Seperti ini, waktu masih di Ambon, kami punya panggilan penanda laki-laki dan perempuan. Di Ambon, untuk memanggil anak laki-laki kita menggunakan kata ‘Nyong’ sama halnya dengan abang, mas, dll. Dan untuk anak perempuan kita gunakan kata ‘ussi’ sama halnya dengan nona.
            Nah, lain lagi dengan di kampungku yang baru, Tomia. Mereka, jika hendak memanggil anak laki-laki, harus mengikuti namanya dengan kata ‘La’ sebaliknya jika hendak memanggil anak perempuan, harus mengikuti namanya dengan kata ‘Wa’. Singkatnya panggilan untuk laki-laki bersuku buton tidak afdol jika tidak dibubuhi kata ‘La’ di depan namanya, sebaliknya begitu juga dengan anak perempuan pun harus ditambahkan dengan kata ‘Wa’. Kedua kata itu setelah ditelusuri pada sumber yang jelas, sebenarnya hanyalah sebagai penjelas jenis kelamin.
             Maka saya harus berbaik hati untuk marah. Bagaimana tidak, saat penulisan buku rapor baru saya. Nama saya seenaknya ditambahkan dengan kata ‘Wa’. Saya sempat protes saat membacanya dibuku rapor merahku. Tidak terima dengan perlakuan itu. Bukan apa-apa juga. Tetapi, bukankah hal tersebut termasuk salah satu tindakan pelecehan seksual. “Tidak apa-apa nak, malah jadi ‘cantik’ nama kamu jika ditambahkan kata ‘Wa’ di depan.” Dengan memberi tampang bahagia, guruku menasehati begitu. Padahal bagaimana juga, akte kelahiran sudah dibuat dengan nama Ode Fitria. Lalu, mengapa pula kata cantik sangat ditekankan. Padahal kata mama, saya sudah lebih dari sekadar cantik meski tidak ada kata ‘Wa’ di depan nama saya. sempat ingin murka, tetapi mau bagaimana lagi, saya terlanjur bahagia bisa memiliki rapor dan bersekolah lagi. Jadi, biarlah kata ‘Wa’ itu melekat, agar saya lebih kelihatan perempuan. Huuhh. (membuang nafas jengkel).
             Finally, saya harus mengulurkan tangan kanan dan menyebut nama Wa Ode Fitria saat perkenalan dilakukan. Tidak lagi jengkel. Karena memang, itulah nama saya. seperti itu saja.
           Ah ya, maaf, celoteh saya panjang sekali, hampir lupa siapa nama kamu? (hehe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar