Selamat Datang, selamat menikmati fasilitas kami

Kamis, 31 Mei 2012

Esai:Puisi “SURAT CINTA untuk MAKASSAR” Karya Hendragunawan S. Thyf dalam Kumpulan Puisi Rumah Lebah


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010

Oleh

WA ODE FITRIA
A1 D1 09 027


BAB   I
PENDAHULUAN

A. Sepatah Kata
Puisi memiliki banyak defenisi yang beragam oleh para ahli, namun di dalam keberagaman defenisinya itu jelas memiliki pokok kesamaan yakni berkonsep sebagai karya sastra yang memiliki ragam makna yang luas di  dalamnya. Makna-makna dalam setiap larik-lariknya mengandung unsur sastra yang estetik, yang mampu mengubah jiwa, nalar dan pikiran menjadi suatu kesatuan utuh sebagai bagian dari ekspresi jiwa penyair. Puisi dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengekspresikan seluruh inspirasi yang muncul dari setiap keadaan yang ada, entah itu masalah sosial, politik, budaya, agama, dan  juga lingkungan sekitar.
Keberadaan puisi, telah menjadikan wadah untuk mengekspresikan setiap problema yang ada di muka bumi. Tidak hanya sekarang, namun sejak lahirnya sastra di muka bumi ini, puisi telah memiliki peranan penting sebagai tempat dalam menyalurkan ekspresi-ekspresi dari berbagai bentuk aspek yang terjadi di lingkungan kehidupan kita.
Dalam mencermati puisi, diperlukannya adanya  tingkat konsentrasi yang tinggi untuk menumbuh kembangkan daya pikir agar sampai pada maksut makna yang terkandung didalamnya. Banyak langkah-langkah juga metode dalam proses penganalisisan sebuah puisi. Banyak juga para ahli yang telah membuat konsep-konsep pendekatan maupun teori-teori sebagai dasar dalam menganalisis karya sastra. Di antaranya adalah konsenp-konsep Abrams yang meliputi: pendekatan biografis, pendekatan ekspresif, pendekatan objektif dan masih banyak lagi.
Namun, disini saya mengambil pendekatan objektif sebagai metode dalam menganalisis puisi yang berjudul “Surat Cinta untuk Makassar” oleh: Hendragunawan S. Thyf dalam kumpulan puisi Rumah Lebah.

BAB   II    PEMBAHASAN

I. Puisi




Surat Cinta untuk Makassar

karya: Hendragunawan S. Thayf


masih belum tidur, sayang?
ketika aku berjalan kaki
di sepanjang jalan ahmad yani
yang telah dibongkar trotoarnya
matamu yang nyalang menyorot-nyorot
bagai lampu menara penjara
sementara di wajahmu semut-semut besi berapi
menyayap dan menderum mengepulkan asap dan debu

manisku, siapa nama si walikota
yang telah berani menggunduli habis
pohon-pohon asam dan akasia di kedua alismu?
keisengan atau kebodohankah yang telah meringankan tangannya?
siapa nama si pengusaha
yang dengan bebal meruntuhkan rumah dan gedung belandamu,
menggantinya dengan mall dan gedung
dan bahkan ingin mendirikan asrama di lapanganmu?

aku pergi tidak begitu lama
dan ketika kembali aku terperengah
melihat engkau begitu jauh berubah
ular-ular aspal melilit tubuhmu
mall dan markas orang bersenjata
tumbuh memenuhi dadamu
sementara anak-anakmu
memaparkan pusar mereka
dan memamerkan belahan bokong
bercium di pojok angkutan kota
dan betapa mencekam,
ketika mendadak di sekelilingmu
bermunculan pasar dan plasa
timbul dari lubuk bumi
bagai para siluman raksasa
nongol membelah perut ibunya
lalu tumbuh bagai raksasa tambun
dengan perut buncit dan punggung membungkuk
yang bangun terhunyung-hunyung
sembari meraung minta makanan
dan para liliput mengalir
datang dari setiap sudut-sudut kota
memasuki mulut mereka yang menganga lebar
dan menebarkan bau aneh

aih, aih, aih, sedihnya sayang,
keningmu berkerut-merut
dan matamu keruh berkabut
jadi engkau juga harus ikut menjual diri
demi dolar dan rupiah
demi catatan prestasi pejabat
menggaet dana investasi
demi komisi dan promosi
demi masa jabatan kedua kali
sementara aku justru merasa
lebih aman dan nyaman
dengan kesederhanaan yang dulu?

lihatlah, aku berjalan kaki di ahmad yani
dengan perasaan takut serta asing
setelah daeng-daeng becak –
yang dulu mangkal d sini
sembari minum jerigen ballo dan main domino
telah digusur pergi
jalananmu ini bukan untukku lagi
percintaan kita telah jadi mimpi
sejak trotoarmu dicungkil pepohonanmu dicukur
jalan-jalan lama diperlebar dan jalan-jalan baru dibuka
sementara pejalan kaki dibiarkan
dicincang tajam panas mentari
dilumuri debu dan polutan
diintai sambaran maut dari semut-semut besi berapi
yang melaju angkuh dan perkasa

masih belum tidur, sayang?
beberapa butir penenang yang mesti kau tenggak lagi
sebelum cemas dan gegasmu dapat reda dalam alun tidur
tatapanmu kian jauh dan tak acuh
seperti papan-papan iklan
yang megah tinggi tak tersentuh
mengangkangi si gila yang tersedu-sedu
duduk mencakung di bawahnya
kau mungkin bahkan tak peduli
bahwa aku telah kembali dan kehilangan kamu

aku menangis,
manisku

(2002/03)


II. Analisis Puisi

Puisi di atas, oleh Hendragunawan S. Thayf yang berjudul “Surat Cinta untuk Makassar” mengulas kisah tentang sebuah negeri yang dulunya subur akan segala kekahasan yang ada di dalamnya kini berubah menjadi suatu negeri yang dibangun dengan kemodernannya namun tidak seindah dulu. Adapun pendekatan yang dapat saya ambil untuk menganalisis puisi di atas adalah dengan mengunakan pendekatan objektif, dimana pemahaman akan proses penganalisisan terpusat pada karya sastra itu sendiri dengan memperhatikan unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra tersebut.
Puisi “Surat Cinta untuk Makassar” memiliki delapan buah standza yang masing-masing dari standza tersebut memiliki beberapa larik di dalamnya. Pada standza pertama larik pertama penyair melukiskan tentang seseorang yang kini sedang dalam perenungan terhadap  kota tercintanya yang kini telah memiliki banyak perubahan, dan perubahan itu tidak sama sekali menambah kecintaannya terhadap kotanya. Kota yang tak berapa lama  ketika dia tinggalkan, dan ketika kembali, dia seakan-akan tak menemukan kejatidirian dari kotanya itu, yang dia tinggalkan seperti sebelumnya. Pada larik pertama yakni masih belum tidur, sayang?/, larik yang mengandung makna bahwa penyair menggambarkan seseorang yang belum dapat tidur karena masih membayangkan perubahan yang terjadi seperti apa yang dia lihat kini. Pembayangan yang membuat sang penyair melekatkan kalimat bahwa dia belum bisa lelap dengan apa yang terjadi dengan kotanya yakni dengan kata sayang yang penyair gambarkan dalam larik pertama.
Pada larik kedua yang masih dalam standza pertama yaitu, ketika aku berjalan kaki/ disepanjang jalan ahmad yani/ yang telah dibongkar trotoarnya/ matamu yang nyalang menyorot-nyorot/ bagai lampu menara penjara. Disinilah penyair mulai melukiskan adanya perubahan yang terjadi dengan kotanya, bahwa ketika dia berjalan-jalan melihat-lihat kembali keadaan yang ada di sepanjang jalan ahmad yani, yang kini telah dibongkar trotoarnya, yang mungkin dulu di tumbuhi dengan beberapa pepohonan. Namun trotoar itu tak ada lagi, juga pepohonan-pepohonan, yang mungkin saat itu menjadi kesejukan. Tapi, kini semua itu tak ada lagi dan yang dia temukan hanyalah nyalanya matahari yang terangnya laksana lampu menara penjara.
Sementara di wajahmu semut-semut besi berapi/ merayap dan menderum mengepulkan asap dan debu. Seperti itu kiranya Hendragunawan S. Thayf  mengekspresikan nalarnya pada larik-larik terakhir standza pertama yang memberikan makna bahwa ketika disana tak ada lagi kesejukan, maka kendaraan-kendaraan yang digambarkan penyair sebagai semut-semut besi itu berjalan dan melaju menciptakan asap-asap dan debu-debu polusi yang berterbangan dimana-mana.
Pada standza kedua yang larik-lariknya: manisku, siapa nama walikota/ yang berani menggunduli habis/ pohon-pohon asam dan akasia di kedua alismu?/ keisengan atau kebodohankah yang telah meringankan tangannya/,  dalam standza kedua ini Penyair menggambarkan kecintaannya terhadapa kotanya hingga selalu disebutnya  dengan kata manisku juga sayang (pada standza pertama larik pertama).  Penyair hendak menyajikan pertanyaan kalau-kalau siapakah gerangan nama sang wali dari kotanya yang telah berani membabat habis pohon-pohon yang melahirkan kesejukan dan ketenangan di wajah kotanya itu, entah hanya suatu keisengan atau memang ketidak pahaman mereka, sehingga menjadikan tangan-tangan mereka mau untuk melakukan pengrusakan terhadap kotanya itu.
Begitu juga dengan para pengusaha-pengusaha yang mungkin tak memiliki hati juga perasaan dan kurangnya ketidak pahamannya sehingga dengan mengandalkan materi yang mereka miliki, mereka dapat melakukan semua tanpa berpikir panjang terhadap dampak buruk yang akan dialaminya nanti juga orang lain disekitarnya. Pengusaha-pengusaha itu telah menggantikan rumah-rumah mereka yang dulu dengan gedung-gedung mewah yang menjadikan kenyamanan buat mereka tapi tidak untuk yang lain, yang juga memiliki hak yang sama pada kota tercintanya itu (Makassar). Seperti pada larik yang terakhir : siapa nama si pengusaha/ yang dengan bebal meruntuhkan rumah dan gedung belandamu,/ menggantinya dengan mall dan gedung/ dan bahkan ingin mendirikan asrama di lapanganmu?/.
Di dalam standza ke tiga, penyair menggambarkan bahwa kepergiannya yang tidak begitu lama sungguh memiliki perubahan yang jauh berbeda. Telah banyak ia temukan  perubahan yang terjadi, jalanan yang semakin melebar juga memanjang, tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan juga gedung-gedung yang berjejeran sepanjang kotanya. Seperti pada lariknya yaitu: aku pergi tidak begitu lama/ dan ketika kembali aku terperangah/ melihat engkau begitu jauh berubah/ ular-ular aspal melilit tubuhmu/ mall dan markas orang bersenjata/ tumbuh memenuhi dadamu. Kata Engkau pada larik diatas menunju pada sang kota yang telah memiliki perubahan drastis.  Sementara dalam gedung-gedung perbelanjaan tersebut banyak anak-anak yang seenaknya menjadikannya sebagai tempat mengumbarkan hawa nafsunya juga bercinta disana dipojok-pojokan juga angkutan kota. Yakni pada larik: sementara anak-anakmu/ memaparkan pusar mereka/ dan memamerkan belahan bokong/ bercium di pojok angkutan kota. Anak-anakmu pada larik di atas mengandung maksut akan anak-anak para pengusaha-pengusaha juga mereka-mereka yang telah dengan senang hati membangun perubahan itu.
Sementara pada standza keempatnya, Hendragunawan S. Thayf menggambarkan adanya sesuatu kejanggalan yang mencekami dirinya ketika dipandangi disekelilingnya telah bermunculnya pasar-pasar juga plasa. Dia merasakan semua itu bagaikan siluman dan raksasa yang bangkit dan menjelma hendak menjadikan keterburukan bagi kedamaian kotanya. Diceritrakan dalam larik sajaknya yakni: dan betapa mencekam,/ketika mendadak di sekelilingku/ bermunculan pasar dan plasa/ timbul dari lubuk bumi/ bagai para siluman raksasa/ nongol membelah perut ibunya/ lalu tumbuh bagai raksasa tambun/ dengan perut buncit dan punggung membungkuk/ yang bangun terhunyung-hunyung/ sembari meraung minta makanan/.
Kemudian penggambaran selanjutnya yakni ketika dengan dengan berdirinya berjenis-jenis bangunan di wajah-wajah kotanya itu, akan dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan mereka. Gambaran sajaknya yakni:  dan para liliput mengalir /  datang dari setiap sudut-sudut kota/ memasuki mulut mereka yang menganga lebar/ dan menebarkan bau aneh/.  Memiliki maksut bahwa nantinya akan datang bencana yang melanda mereka dengan menjadikan virus dan  menjadikan ketidak nyamanan terhadapa mereka sendiri.
Dalam standza-standza berikutnya tergambarkan oleh penyair tentang adanya segurat-dua gurat kesedihan yang mendalam akan kesayangannya terhadap kota tercintanya yang kini telah mengalami masa peralihan yang mengukir kesedihan dihati-hati pencintanya.
Tanah-tanah indah nan subur yang tertanam pepohonan membuahkan kesejukan, kedamaian, juga kesejahteraan kian hilang diterpa tangan-tangan para pejabat-pejabat, yang hanya untuk mengharumkan namanya semata. Menginginkan ketinggian jabatan yang menuntut pada komisi-komisi serta dana yang mengiurkan mereka. Namun, tanpa disadari ada sebagian mereka-mereka yang menginginkan kesederhanaan saja, merindukan sosok kesejukan dulu yang pernah ada. Mereka merasa lebih nyaman dan juga aman dengan suasana kesahajaan dulu yang penuh dengan kehangatan. Tergambarkan dengan syairnya dalam larik pada standza kelima: demi catatan prestasi pejabat/ menggaet dana investasi / demi komisi dan promosi/ demi masa jabatan kedua kali/ sementara aku justru merasa/ lebih aman dan nyaman/ dengan kesederhanaan yang dulu? /.
Setelah perubahan yang terjadi begitu melenceng jauh dari ingatannya, sang penyair menguak kembali memento-memento dulu yang pernah ia telusuri. Keadaan yang begitu terang di hadapannya menjadikan buyar bagai lamunan. Semuanya telah tergusur hingga pangkalan becakpun kepunyaan daeng-daeng itu terhempaskan oleh para penguasa-penguasa itu. Kini yang dpenyair lukiskan dalam dalam syairnya : jalananmu ini bukan untukku lagi/ percintaan kita telah jadi mimpi/ sejak trotoarmu dicungkil pepohonanmu dicukur/ jalan-jalan lama diperlebar dan jalan-jalan baru dibuka/ sementara pejalan kaki dibiarkan/ dicincang tajam panas mentari/ dilumuri debu dan polutan/ diintai sambaran maut dari semut-semut besi berapi/ yang melaju angkuh dan perkasa/. Memiliki makna bahwa kini jalanan kotanya bukan lagi untuknya, setelah semua trotoar, juga pepohonan dicungkil dan dicukur habis, dan dia biarkan semuanya yang dulu cukup  menjadi kenangan dan mimpi sesaat untuknya. Semua kenangan indah itu terhempas, yang ada kini hanyalah segumpal kegerahan akan udara yang mulai meraung-raung, jalanan makin melebar saja hingga menjadikan sang pejalan kaki di sana terperaajam oleh sengatan panasnya mentari ditambah juga dengan segumpal polusi-polusoi yang diciptakan kendaraan-kendaraan yang dengan angkuhnya melaju tanpa pikirnya.
Pada standza ketujuh, penyair masih memberikan penggambaran akan segudang perenungan yang masih saja ada. Dengan konteks masih belum tidur, sayang?/, pada larik pertamanya. penyair mencitrakan ketidak bisaannya untuk terlelap dalam merenungi keterjadian perubahan terhadap kotanya tersebut. Masih saja ada cemas yang mendalam di dirinya, namun kecemasan itu dapat reda apabila lelap dalam tidur, yang di ibaratkan dengan papan-papan iklan yang takan tersentuh karena tinggi juga megah. Mungkin hanya ada si gila yang tak enggan untuk bersandar dibawah papan-papannya itu, penyair menkisahkan bahwa : kau mungkin bahkan tak peduli/ bahwa aku telah kembali/ dan kehilanagn kamu, adanya ketidak pedulian yang penyair gambarkan sebagai kau, yang mungkin kata kau disini adalah kotanya. Kota yang tak mau perduli dengan kedatangannya karena perlahan memang dia tak lagi temukan dia bahkan telah kehilangannya.
Standza terakhir yang memiliki larik : aku menangis,/ manisku/, mengandung ulasan kisah kesedihan yang mendalam yang penyair gambarkan akan seseorang yang telah kehilangn sesuatu yang dicintanya, menginginkan pengembaliannya namun itu tak mungkin.


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari proses pengkajian puisi di atas yang berjudul ”Surat Cinta untuk Makassar” adalah bentuk-bentuk imaji yang dikembangkan sang penyair terhadap keadaan dunia dengan realita kehidupan yang ada sekarang. Hendragunawan S. Thayf  sebagai sang penyair puisi di atas menguak kisah kesedihan dan kerinduan akan suatu kecintaan seseorang  terhadap kotanya yang dulu penuh dengan bentuk kesahajaan, kedamaian, juga kesejukan.
Namun, kini tak lagi dia temukan, karena telah banyak para hartawan, pejabat dan juga pengusaha-pengusaha yang menyulapnya menjadi tempat-tempat yang baru dengan suasana yang baru juga, namun tak memiliki arti dan nilai plus untuknya. Sang penyair membuka gambaran terhadap rasa sukanya, ketika larik-larik sajaknya itu yang terlukiskan bahwa dia lebih suka kesederhanaan yang dulu di alaminya, di bandingkan dengan sekarang yang memiliki perubahan namun hanya mendatangkan ketidak damaian terhadap dirinya juga yang lainnya.
Larik-larik yang di ulasnya dengan kehalusan bahasa puisinya, menggambarkan sosok penyair yang memiliki potensi yang luar biasa terhadap kemajuan sastra Indonesia sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar