Selamat Datang, selamat menikmati fasilitas kami

Jumat, 25 Mei 2012

Wow wonderful!!! TOMIAKU, PUNYA SEMUANYA….

Oleh: Wa Ode Fitria (A1D1 09 027)

      Kalau ada yang menanyakan sebuah tempat yang bernama “Tomia”, mungkin sebagian bahkan tiga per empat dari seluruh orang pasti ada yang tak mengenalnya. Ya, hal tersebut sudah menjadi pasti. Tomia, bukanlah salah satu negara di dunia. Tomia bukan pula salah satu kota di sebuah negara. Tomia juga bukan kabupaten. Bahkan, bukan mustahil bahwa di peta dunia pun, Tomia malah mungkin tak terlihat, barangkali karena saking besar gambarnya. Atau mungkin, pada saat penggambaran peta dunia, ketika tiba saat giliran pulau Tomia yang akan di gambarkan, lantas tinta ballpoint si penggambar habis dan ia kemudian lupa untuk menyimpan sebuah titik saja di kaki kiri pulau Sulawesi.
       Tomia, hanyalah salah satu pulau kecil sedikit panjang yang melengkapi sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara yakni Wakatobi. Dari segi nama, Tomia menduduki posisi ketiga setelah Wanci dan Kaledupa yang kemudian di susul oleh  Binongko yang menempati kursi terakhir. Tomia hanya pulau kecil yang kini tengah melahirkan dua kecamatan kecil pula. Namun, jangan dilihat dari kecilnya Tomiaku, dan jangan dikira tak ada apa-apa di sana. Tidak juga banyak, namun tidak pula sedikit ragam bentuk yang dapat kita jumpai di sana. Mulai dari bermacam-macam tempat wisata hingga sampai kepada yang bukan tempat wisata.
        Kalau Bogor punya puncak, Tomia juga punya puncak. Kalau Bali punya Kuta sebagai pantai wisata, Tomia juga punya Kollo dan Untu yang pasirnya bak terigu yang termahal yang mungkin lebih putih dibanding Kuta. Kalau Bali punya resort tempat para turis nginep, jangan salah, Tomia juga punya Onemoba’a yang di diami oleh PT. Resort Wakatobi sebagai tempat menginap para wisatawan asing yang mencintai pantai.
       Ternyata Tomia tak kalah dengan salah satu pulau, bahkan hanya menyisahkan perbedaan yang cukup tipis dengan Bali. Tempat yang tidak asing di telinga siapapun kecuali bayi yang baru lahir. Tempat yang mungkin setiap orang bukan saja dari dalam Indonesia, luar Indonesia pun mengidamkannya, untuk sekedar menginjakkan kaki mereka di sana, merasakan betapa indah dan sejuknya pemandangan pantai dengan hamparan pasir putih yang memesona setiap kali alat indera penglihatan kita digunakan. Seperti juga Kuta, Tomiaku tak pernah membuat mata tak akan pernah lelah ketika dapat menumpahkan pandangan di sehamparan pulau-pulau kecil yang berendam di laut Banda, ketika kaki menjadi penopang badan berdiri dari atas puncak La Coro.
        Sungguh begitu menakjubkan, saya yakin bahwa yang berinisial ‘S’ dan berakhiran ‘S’ yakni stres tidak akan pernah kita jumpai dan bahkan tak mendapat tempat di sana. Begitupula  sederetan kawanan penyakit lainnya pun tak di izinkan ada di Tomiaku. Kalaupun pada suatu hari ada yang menemukan si penyakit itu, pasti si penyakit tersebut, meminjam paspos palsu milik Gayus untuk memasuki kawasan Tomiaku dengan paspor palsu Gayus yang dimilikinya  saat plesiran keluar negeri. Pastilah Gayus meminjamkannya, mengingat Gayus adalah sahabat bahkan sekawanan penyakit yang tengah merajalela di berbagai sudut-sudut, disetiap yang bersudut.
      Di Tomiaku, dekor pemandangannya, seakan membawa kita terbang bersama keindahan  yang tak terlukiskan itu. Bagaimana tidak, kita tidak perlu bersusah-susah menguras isi celengan kita untuk pergi ke Santorini- kota kecil di pinggiran Prancis -   untuk menyaksikan saat-saat romantis menantikan sunset turun memeluk malam. Kita dapat melakukannya di sana, di puncak La Coro, Tomiaku, yang tak pernah membatasi ruangnya untuk berbagi tempat, baik untuk sekedar melihat kicauan burung bernyanyi di angkasa, maupun menyaksikan peristiwa penting saat-saat perjumpaan siang yang merelakan dirinya digantikan dengan malam.
       Di Tomiaku, tak perlu menghabiskan dana bermilyar bahkan mungkin mencapai triliunan rupiah untuk membangun waterpool seperti di Ancol Jakarta. Tak pula semewah waterpool yang ada di kawasan bukit golf Mediterania. Di Tomiaku, telah disediakan alam, waterpool alamiah yang dijelma olehnya menjadi air jatuh yang tempatnya jauh dari perkampungan setelah puncak La Coro yang diberi nama Tomia. Alam Tomiaku telah menyediakan Te’e Wali sebagai salah satu permandian yang berlatarkan suasana gua yang diakrabi dengan tonjolan-tonjolan batu yang timbul dari dalam batu. Kemudian, dari sela-sela batu itu terpancarkan mata air bersih yang bahkan sejak dulu hingga sekarang telah menjadi penghidupan bagi masyarakat setempatnya dan menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat lainnya.
        Tidak hanya itu, di ujung timur sebuah perkampungan Tomia, muncul kembali permandian bernama Te’e Timu dengan mata air besar yang menganaki mata-mata air lain di sampingnya, yang ada jauh sebelum nenek moyang kami lahir. Tempat yang kini menjadi salah satu sumber air bersih, sumber kehidupan bagi masyarakat Kulati, karena tak di jangkaui air pam yang memang areanya berada jauh di perbukitan timur Tomia. Tak sejauh 500 Meter, dari Te’e Timu, ada sebuah tempat bersejarah. Tempat yang pernah digunakan ketika berlangsungnya ulang tahun kabupaten Wakatobi yang ke-4. Konon kabarnya moment itu dicatatkan dalam rekor muri, atas ajang bakar-bakar ikan terpanjang di dunia sepanjang 21 km. Menabjubkan bukan? Tentu !
       Diumur Tomia yang masih beranakkan satu kecamatan, bahkan sebelum tomia bergabung dengan Wanci, Kaledupa, dan Binongko untuk menjadi sebuah Kabupaten, sekitar 10 tahun lalu, sangat jelas disetiap ingatan masyarakat Tomia, bahwa Tomia telah memiliki Lapangan Terbang Maranggo. Meskipun tidak seluks bandara Soekarno-Hatta, dan meskipun hanya melayani penerbangan Tomia-Bali-Luar Negeri. Namun, suatu keunggulan yang diterobosi Tomia dalam persaingan modernisasi.
       Ah. . . Tomiaku punya semuanya, bukan hanya memiliki banyak tempat wisata. Dia juga melahirkan putra-putri yang bertalenta sekaligus berprestasi. Sejak zaman Djeni Hasmar sampai kepada zaman Hugua sekarang ini. Mereka adalah anak pulau yang bertanah kelahiran Tomia. Meskipun, Tomiaku kini belum memiliki Mall dan Gramedia. Namun, hal tersebut tak membuatnya menjadi terbelakang. Justru ia telah banyak menetaskan putra-putri yang berpotensi.
         Di salah satu tangan anak Tomia, proses publikasi tentang laut Tomia yang memang temasuk ke dalam segi tiga karang dunia bersama-sama Hawai dan Raja Ampat ini, kini telah menjadi konsumsi publik. Bahkan jauh dari luar negeri, mereka lebih mengenal pulau yang bernama Tomia ini, sebagai tempat wisata yang masih perawan, original, dan bahkan berdaya tarik lebih. Tak jarang mereka justeru mempublikasikan kepada sekawanannya di sana dan menjadikannya sebagai kebutuhan pokok setelah menyelesaikan pekerjaan mereka.
       Satu yang belum dimiliki Tomiaku, suasana ramai seperti di Bali yang menggambarkan kedayatarikkan pengunjung. Bukan karena, Tomiaku tak memliki daya tarik, akan tetapi masih perlu dipoles sedemikian rupa agar menjadi lebih tertarik lagi.
       Bisa saja jika Tomiaku disebut sebagai Bali wanna be, atau mungkin the twin puncak Bogor. Kerena di sana dia memiliki tiga per empat yang dimiliki Bali. Dia mempunyai satu puncak yang tak kalah memukau dengan puncak di Bogor. Jika Puncak Bogor membawa kita kepada nuansa hijau dengan berbagai macam jenis tanaman di sana, puncak La Coro menghadirkan potret padang rumput hijau dengan berpropertikan laut banda yang hijau rumput laut dan pulau-pulau kelapa mungil yang ranum berendam indah mengelilingi pulau Tomia. Langitnya pun masih biru hingga sekarang, namun tak pernah menjadikan biru di hati masyarakatnya.
Bersambung....

nah, ini dia gambar-gambar pemandangan di Tomia...
ini adalah gambar-gambar resortnya...nanti di postingan selanjutnya, aku update lagi gambar-gambarnya yang baru di TomiaKu yaa..Ok









1 komentar: