Selamat Datang, selamat menikmati fasilitas kami

Kamis, 31 Mei 2012

Esai:Puisi “REALITA SOSIAL” Karya Bode Riswandi dalam Kumpulan Puisinya Mendaki Kantung Matamu


WA ODE FITRIA
A1 D1 09 027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010



BAB I    PENDAHULUAN

I. Kata Pengantar
Dalam perkembangan sastra Indonesia yang semakin meluas, banyak ditemukan sastrawan-sastrawan baru yang memiliki jiwa seni yang sangat tinggi. Sastrawan-sastrawan baru ini, memiliki tingkat kemampuan sastra yang sangat esensial dan sangat berhubungan juga berkaitan erat dengan kondisi serta keadaan yang terjadi sekarang di dunia.
Banyak karya-karya sastra yang bersudut pandangkan tentang realita sosial, seperti sastrawan Habiburahman L. Shirazi yang karya-karyanya menyentuh penikmat karena memiliki tingkat kepenalaran yang tinggi, menggugah keadaan yang banyak terjadi sekarang. Sang penyair ini, menjadi penerus-penerus sastrawan kita yang telah kembali yang Salah satunya juga sastrawan Bode Riswandi yang memiliki tingkatan imaji-maji serta ide-ide yang luas yang karya-karyanya berawal dari pengalaman keadaan dirinya. Bode Riswandi ini, bukan hanya memiliki teknik penguasaan bersastra, namun sang penyair ini menunjukan karyanya kepada suatu yang labih esensial, lebih kompherensif, sehingga menumbuhkan nilai estetika yang sangat kental untuk dikaji  lebih dalam.
Disini saya mengambil salah satu karya dari Bode Risawandi tentang “Realita Sosial” dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Mendaki Kantung Matamu untuk dikaji lebih dalam. Saya memiliki ketertarikan  dengan puisinya ini, karena sang penyair  mengulas  tentang keadaan sisoal yang telah membumi dengan segala aspek dan sudut pandang  yang penyair lukiskan dalam puisinya tersebut.

BAB II   PEMBAHASAN
I. Puisi

Bode Riswandi
Realita Sosial

1/
“Ini realita sosial” katanya. Ketika tapak kaki lima
dan pasar tradisional disulap jadi plaza dan mall-mall.
meski cinta kita punya sejarah dengan salah satu plaza
tak baik kita lupakan lapak terbuka juga kios kaki lima
yang sesak dengan foto anggota dewan dan merk jamu
kuat itu. “dari senyumannya yang dipaksakan kelak mereka
akan lebih buas ketimbang pamong praja yang ketagihan
merobohkan lapak terbuka dan kios kaki lima” ucapmu.

Aku tersentak, kalimat it pantas di ucapkan demonstran
atau aktifis LSM, ketimbang keluar mulus dari bibirmu
yang mirip pisau serut itu. “Bersama penyair, aku lebih
berani berkata-kata” ucapmu. Padahal dengan kekasihmu
yang polisi itu kau ajarkan disiplin dalam berkata.

2/
Apa pentingnya konak politik bagimu?
hingga rela melupakan gairah kesusasteraan yang kau pendam
sejak SMA. Apa karena sering terluka gara-gara terperosok
di perempatan yang itu-itu juga, gara-gara foto lugu mereka
menutupinya? Aku cemburu. Tapi bukan karena foto-foto
mereka yang lugu. Sebagai penyair aku takut kesumatmu
benar-benar menjauhkan dirimu dari gairah kesusasteraan.

3/
“Ini realita sosial” katanya. Ketika masjid, pesantren, gereja
dan kelenteng jadi terminal. Di mana bis umum dan pariwisata
antre berebut muatan. Di seberang kamar kontrakan aku rajin
menantimu keluar khusuk dari mesjid yang bertahun-tahun
menjadi lading memanen ilmu. Kenyataannya, kau dan aku
rela meninggalkan kamar kontrakan itu rela meninggalkan
mesjid itu setelah mereka curi kenangan kita terang-terangan.

Seribu partai, seribu tipu muslihat, seribu kekecewaan
tidak membuat kita jadi dewasa. Selain geli mencermati tingkah
mereka yang fotonya bersanding dengan merk jamu kuat itu
jadi kiai tiba-tiba, atau sekadar menghadiahi perabot rebana.
Biar dikata dekat dengan ulama, biar dikata calon pemimpin
yang taat beragama.

4/
“Ini realita sosial” katanya. Ketika orang-orang kampong
disatroni tipu daya. Ketika sekolah umum, dan madrasah
yang sebagian pengajarnya guru-guru honorer, rajin mejeng
dikantor-kantor partai jadi tim sukses honorer juga.
Sebab gaji tim sukses honorer, lebih gede ketimbang gaji
Sebulan di sekolahan, katanya.

Banyak partai, banyak yang menyalonkan dewan dan presiden.
Mereka masuk keluar salon, mewarnai rambut merapikan kumis
mengendarai mobil masuk kampung. sensus mesjid, pesantren,
gereja dan kelenteng. Mendata warga yang penyakitan mata
biar tidak salah pilih partai dan foto mereka.

2009




II. Analisis puisi

Puisi oleh Bode Riswandi yang berjudul “Realita Sosial” di atas, menceritakan tentang permasalahan sosial yang terjadi di negeri ini. Penyair mengangkat judul ini, mungkin karena dia melihat banyak dampak buruk yang telah terjadi di kehidupan nyata kekinian. Dengan adanya politikus-politikus juga munculnya berbagai partai politik di negeri ini, menjadikan warna baru terhadap tingkat berfikir dan perilaku yang sudah tidak lagi rasional. Menciptakan hal-hal baru yang  menjadi perseteruan, dalam menjalankan misi sebagai pemegang Negara namun tak di landasi dengan keyakinan dalam hati serta ketulus ikhlasan.
Hendragunawan S. Thayf melukiskan puisinya kedalam bentuk empat bagian, yang di dalam masing-masing bagian tersebut terdiri atas beberapa standza dan setiap standzanya memiliki beberapa larik pula.
Pada bagian ke-satu, terdapat dua standza didalamnya.  Standza pertama, dalam larik-lariknya penyair mengungkap  tentang keadaan sosial yang tertampak dalam keadaan nyata kini. Terlihat pada lariknya yakni: “Ini realita sosial” katanya. Ketika tapak kaki lima/ dan pasar tradisional disulap jadi plaza dan mall-mall/. Penyair menggambarkan keadaan sosial sekarang telah  berubah dengan dibangunnya mall-mall juga plaza yang dulu tak ada semua itu. Ini realita sosial, katanya. Larik pertama itu menggambarkan sosok kata-kata para politik-politikus yang hendak memaparkan suguhan-suguhan terhadap telinga-telinga rakyatnya, dengan mengharapkan sebuah kepemimpinan nantinya.
Penyair menggambarkan bahwa meski di dalam menciptakan suasana yang baru meskilah kita tak harus melupakan hingga menghilangkan dari mereka-mereka yang memiliki tingkatan rendah yang hidup dengan mengandalkan kios-kios kecil sebagai mata pencaharian mereka. Meskipun plaza-plaza itu menandakan adanya perubahan yang baik mungkin, namun tak juga pasti memberikan kebaikan bagi yang lainnya juga. Sebagian besar para politik-politikus hanya dapat mengumbar janji tanpa bukti nyata dari realisasiannya terhadapa para rakyat. Terlihat pada kutipan larik terakhir yakni: “dari senyumannya yang dipaksakan kelak mereka/ akan lebih buas ketimbang pamong praja yang ketagihan/ merobohkan lapak terbuka dan kios kaki lima” ucapmu./  dari kutipan larik tersebut dapat di tarik makna bahwa, banyak ketika mereka yang saling ingin merebut posisi di masing-masing jabatan tinggi Negara, mengumbar senyum kepalsuan, senyum-senyum yang terpaksa di sunggingkan di wajah-wajah mereka yang sebenarnya  akan lebih kejam dari mereka pamong praja yang melenyapkan kios-kios sang pedagang kaki lima tersebut. Itu salah satu bentuk keterbukaan penyair akan suara-suara rakyat yang ingin tersampaikan kepada para mereka sang penuntut kekuasaan.
Dalam standza ke dua, imaji yang penyair gambarkan berhubuangan erat dengan larik terakhir kutipan standza pertama bahwa kutipan syair itu lebih pantas jika di ucapkan sang demonstran atau pula aktifis-aktifis sebagai subjek  dalam menyuarakan suara rakyat. Ketimbang di ucapkan mulus dari bibir-bibir para politik, tapi sebenarnya akan lebih tajam mirip pisau yang akan mengiris mereka. Sementra mereka para politikus, telah dini di ajarkan cara juga metode yang layak mereka kemukakan. Namun, metode-metode itu tak mereka lahirkan sebagai cara terbaik dalam menjalankan misi dan visi mereka, yakni dalam penggalan syair:. . . .“Bersama penyair, aku lebih/ berani berkata-kata” ucapmu. Padahal dengan kekasihmu/ yang polisi itu kau ajarkan disiplin dalam berkata./ larik-larik tersebut, terukir bahwa telah terajarkan kepada mereka sebelumnya akan cara-cara kedisiplinan dalam bertindak maupun berbicara ketika mengambil langkah ataupun keputusan.
Pada bagian kedua puisi ini, penyair hanya menciptakan satu standza di dalamnya dengan beberapa lariknya. Dalam kajian ini,  penyair menguak  suatu konsep  fungsi yang telah di lakukan para politikus itu, memandang seperti apa paran penting gagasan politik baginya. Yang kemudian harus di jalani dengan sempurnah. Penyair menggambarkan bahwa lupakah kamu dengan berbagai aspek sastra yang terpendam sejak dulu itu?, apakah tatanan nilai-nilai rasa yang yang tertanam dalam dirinya hilang begitu saja?. Seperti pada barisan lariknya: Apa pentingnya konak politik bagimu?/ hingga rela melupakan gairah kesusasteraan yang kau pendam/ sejak SMA. . . .
Telah dimunculkan bentuk pertanyaan seperti itu oleh sang penyair, menginginkan suatu kepenanggung jawaban atas wadah yang di pilihnya para politikus itu. kemudian, penyair mengulas kembali apakah ketidak tanggung jawabanya terhadap visi yang di embannya juga karena pernahnya terjatuh dalam keadaan yang sama sebelumnya. Dimana faktor penyebabnya adalah apakah karena foto-foto lugu itu yang menjadi topeng dari wajah-wajah politikus itu?. Penyair melukiskan suatu rasa kecemburuan dalam diri, ada segurat keraguan yang mendalam teruntuk para politik-politik itu yang apakah nanti akan semakin menjauh saja nilai-nilai rasa cinta dan kepedulian  akan negerinya.
Kemudian, pada bagian ke tiga dari puisi ini, standza pertamanya mecitrakan tentang suatu perubahan yang di alami dari makna realita sosial disini, kenyataan bagaimankah yang di gambarkan sang penyair. Perubahan yang dilakukan terhadap mesjid, gereja, juga kelenteng yang telah disulapnya jadi terminal-terminal yang diperebutkan angkutan umum dalam memungut muatan yang berjejeran. Sementra wahana-wahana itu dimana masjid, gereja juga kelenteng tersebut dulu adalah tempat menimba ilmu. Tempat memanen  kepingan-kepingan pengetahuan, dan kini kenyataan yang terjadi tempat tersebut hanya kenangan yang dulu terang kini suram. Seperti yang digambagkan pada sajak dalam setiap larik-lariknya yakni: /“Ini realita sosial” katanya. Ketika masjid, pesantren, gereja/ dan kelenteng jadi terminal. Di mana bis umum dan pariwisata/ antre berebut muatan. Di seberang kamar kontrakan aku rajin/ menantimu keluar khusuk dari mesjid yang bertahun-tahun/ menjadi lading memanen ilmu. Kenyataannya, kau dan aku/ rela meninggalkan kamar kontrakan itu rela meninggalkan/ mesjid itu setelah mereka curi kenangan kita terang-terangan./  larik-larik itu melahirkan kontradiksi yang kuat, dimana dari sebagian tempat-tempat memetik ilmu di curi  dan diubahnya oleh para politik itu menjadi keterburukan yang muncul tanpa disadari.
Pada standza ke dua dalam bagian ketiga puisi, Bode sebagai sang penyair puisi ini menguak rahasia-rahasia kecil dimana telah diutarakan sajaknya bahwa: /Seribu partai, seribu tipu muslihat, seribu kekecewaan/ tidak membuat kita jadi dewasa. Bahwa dalam larik-larik sajaknya itu dikemukakannya kemunculnya beragam partai namun,  hanya hadir sebagai tipu daya terhadapa kita yang semestinya kita pahami sebagai pengkhianatan, ketidak kompherensifannya, yang seharusnya membuat kita lebih dewasa lagi dalam menyikapinya. Penggambaran sang penyair bahwa dia seakan merasa geli dalam mencermati tingkah-tingkah para politikus yang bersangding dengan wajah-wajah palsu yang hendak mencuri perhatian di kalangan kita. Bahkan penyair mencitrakan bahwa tiba-tiba telah berubahnya penampilan yang hendak menjadi kiai dengan menyogokan berbagai perabot rebana, agar dapat dikatai sebagai calon kepemimpinan yang taat beragama. Sementara itu hanya kulit luar yang menjadi topeng sebagai senjata memperoleh kepemimpinan.
Gambaran yang sama pada bagian ke empat pada puisi ini, yang ada dua standza di dalamnya, menguak kisah yang sama tentang tipu muslihat para politikus terhadap  teknik meraih kepemimpinan. Dimana dalam standza pertama pada bagian ke empat ini, terarah pada sudut baru yakni, pada kampung-kampung, sekolahan, hingga madrasah juga para guru honorernya. Mengandalkan ketidak mampuan mereka, kelemahan yang mereka miliki. Datang dengan raut wajah yang bersahaja, sikap yang berwibawa, menceramahi dengan berbagai aspek visi dan misi bentuk pembangunan. Namun, alhasil semua yang di janjikan tinggal janji tak memiliki bukti yang nyata dengan sikap yang ditunjukan sebelumnya. Disana tergambar banyak yang ikut menjadi tim sukses dalam calonan dewan juga presiden, yang hanya karena gaji yang kurang cukup, maka menjatuhkan pilihan untuk ikut mensukseskan tim-tim yang dibentuk hanya untuk menerima honor yang sedikit banyak dari para calon itu.
Inikah wajah realitas sosial yang terjadi di bumi pertiwi ini, yang telah di diulas penyair Bode Riswandi dalam karyanya “Realitas Sosial” sangat mendalam.
Banyak calon para dewan dan presiden yang menggantungi partai masing-masing menuntut diberikan kursi kepemimpinan yang tak didasari dengan pemahaman yang cukup terarah.







BAB  III         PENUTUP

I. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat saya petik dari proses pengkajian puisi diatas oleh Bode Riswandi dengan judul “Realita Sosial” adalah puisi yang menggambarkan tentang keadaan sosial yang terjadi sekarang. Penyair disini yakni Bode Riswandi mengangkat judul seperti ini, mungkin dia melihat adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Negeri ini. Dengan adanya politik yang lahir di Negeri ini, membuat para penganutnya yakni politikus tidak menjalankannya dengan sempurnah, malah melenceng dari apa yang mereka jadikan visi. Bode mengungkap rahasia-rahasia yang menjadi kendala terhadap kesatuan bangsa ini. Dalam puisi ini juga, penyair mengulas tentang kritik sosial terhadap bangsa ini, yang tidak lagi kompherensif terhadap keadaan yang terjadi sekarang.
Dalam puisinya penyair menginginkan adanya persatuan yang menyeluruh terhadap kesejahteraan bangsa ini. Menginginkan persatuan dan kesatuan yang utuh tanpa adanya kemunafikan-kemunafikan yang di lakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.
Seorang sastrawan yang memiliki jiwa kepenyairan yang tinggi membuat Indonesia menemukan kembali sastrawan-sastrawan baru untuk kemajuan sastra Indonesia kedepannya.

1 komentar: