Oleh: Wa Ode Fitria (A1D1 09 027)
Sabtu pagi di akhir bulan April itu, hujan lumayan deras, turun, dan membasahi bumi kota Kendari. Namun, tetes-tetes hujan tersebut turut menjadi saksi bisu, terlaksananya peristiwa penting di Auditorium Mokodompit Unhalu. Salah satu peristiwa penting bagi mereka-mereka yang telah lumayan lama menungguinya. Bahkan, meskipun hujan turun dengan derasnya, sama sekali tak dapat menggagalkan acara yang saat itu sedang berlangsung. Peristiwa tersebut dikenal dengan pesta besar dunia kampus. Khusus dilaksanakan untuk melantik sekaligus melepas mahasiswa-mahasiswa yang dikategorikan telah mampu menyelesaikan semua program perkuliahannya.
Sebenarnya simpel, kita lebih mengenalnya dengan prosesi wisuda. Proses pelantikan dengan situasi khidmat terhadap mahasiswa-mahasiswi yang berhasil menyelesaikan studynya. Tepatnya, 30 April 2011 di Auditorium Mokodompit Unhalu dengan peserta mencapai 870-an, prosesi wisudaan tersebut dilaksanakan kembali, setelah dilaksanakan akhir Januari lalu. Setiap tahunnya, kurang lebih 3 kali diadakannya wisuda bagi mahasiswa-mahasiswa yang memang masuk nominasi ‘pantas’ untuk segera keluar dari kampus Unhalu, tentunya dengan menggenggam predikat mereka masing-masing.
Kategori yang masuk dalam nominasi ‘pantas keluar’ adalah mahasiswa-mahasiswa yang memang telah menyelesaikan program perkuliahannya. Ditempuh dengan waktu 2,5 tahun hingga 3 tahun untuk program D-III, 3,5 tahun hingga 4 tahun untuk program S1, dan 2 tahun bagi program S2. Dimulai dari wisudawan terbaik atau cumlaud hingga kepada yang bukan cumlaud.
Pada tahun ini, Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS, selaku rektor Universitas Haluoleo, akan memberlakukan wisuda empat kali setahun demi meminimalisir jumlah wisudawan yang selalu membludak bahkan di atas 1000 peserta. Tidak ada unsur apapun berkaitan dengan pemberlakuan empat kali wisuda dalam setahun tersebut. Tujuannya sederhana, yakni agar wisudawan benar-benar merasakan prosesi khidmat saat pelantikan.
Entah bagaimana caranya menggambarkan perasaan, mimik wajah, dan rona merah di hati mereka masing-masing, yang kini telah berhasil lolos dari kejaran berbagai program perkuliahan. Semuanya di awali dengan berbagai kisah menjadi kasih di setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan hingga bertahun-tahun dijalaninya. Dilalui dengan berbagai rasa letih ketika bersusah-susah dalam perkuliahan, mengurus ini dan itu, hingga berhasil memetik kebahagiaan. Ditemani kebersamaan meskipun akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri. Yah! Jalan yang menuntun mereka menyelesaikan studynya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
“Kita kan, masuk sama-sama, keluarnya juga harus sama-sama to?!” tutur Iis pend.bahasa/2010.
Kata-kata yang menyimpan makna yang cukup dalam. Meskipun kini, hanya ada beberapa dari mereka yang bersama-sama masuk dan kemudian keluar pula bersama-sama. Hal tersebut tidak perlu menjadi sebuah kontroversi bagi masing-masing persepsi. Karena, format otak kita pun telah memahami kalimat tersebut bahwa : kita adalah berbeda-beda dengan kemampuan yang berbeda-beda pula. Dan pernyataan Iis tersebut, meskipun gagal dalam kenyataan, setidaknya dapat menjadi sebuah spirit yang harus mampu memupuk kekuatan dalam diri setiap mahasiswa untuk mempercepat setiap langkahnya dalam memenempuh studynya.
Saat ini, tentulah di dada masing-masing mereka, terbesitkan rasa syukur dan bangga, dengan keberhasilan awal yang kini telah mereka capai selangkah lebih tinggi. Pasti, rasa tanda terima kasih tulus pun mereka ucapkan, bagi siapa saja yang menjadi bagian dari sejarah perjalanannya. Bagi kedua orang tua mereka, prestasi ini merupakan kado kebahagiaan yang turut pula menjadi impian mereka. Rona merah di pipi mereka, selalu menghiasi setiap langkah kakinya, karena telah berhasil melewati satu tanjakan kerikil yang sesekali agak tajam mewarnai setiap pergerakan mereka. Tidak ketinggalan pula ‘pewe’ alias pendamping wisuda, yang tak mau kalah membuat suasana pesta semakin hanyut terbawa arus haru yang didramatisir sedemikian rupa.
Sebuah hal yang tidak dapat disangkal bahwa, bahkan air mata pun menjadi bagian terpenting yang turut hadir meramaikan riuh rendah pesta besar dunia kampus tersebut. Hal yang memang menjadi tradisi setiap saat pesta besar kampus dilangsungkan. Hingga, perlu disadari bahwa air mata mengambil dua sisi peran yang begitu penting. Air mata mengambil peran sebagai simbol rona bahagia di dada mereka, karena telah menyelesaikan salah satu step dalam peta perjalanan hidupnya.
Namun, sisi lain hadir menguak paradigma yang kini telah menjadi status kacangan bagi setiap orang. Paradigma yang sangat-sangat disayangkan yakni ‘wisudawan mencetak pengangguran’. Tentu pernyataan tersebut sudah sangat lumrah meramaikan pendengaran kita.
Paradigma tersebutlah yang kini hadir menjadi dogma bagi setiap wisudawan dan akhirnya ada yang benar-benar banting setir menjadi pengangguran. Apa yang dapat kita lakukan jika paradigma tersebut datang menghipnotis dan telah mendogma bagi beberapa wisudawan. Tentu hal tersebut akan mengikuti setiap gerak dan langkah, mengotori pikiran dan perasaan mereka, yang kemudian hadir menjadi cemohan.
“pengangguran bukan langkah selanjutnya yang selalu ditempuh sarjanawan, ada langkah yang lebih dari pada berharga untuk bisa mewujudkan cita-cita. Meskipun memang langkah itu akan terasa lebih tajam dan bergerigi lagi dari sebelumnya. Dan sekali lagi jangan pernah kita kotori pemikiran kita dengan pernyataan bahwa wisuda hanya mencetak pengangguran. Banyak juga kok yang telah berhasil. Lihat saja rektor kita, alumnus Unhalu dan kini beliau berhasil. Bukankah itu bukti yang sangat nyata dan sebenarnya, seorang sarjana yang menjadi pengangguran, diakibatkan karena faktor malas dan tak ingin melanjutkan perjuangannya. Kalau dia berjuang dia pasti bisa kok. ” Bantah Wiwi (wisudawan FISIP 2010)
Saat ini, hal yang berkaitan dengan pengangguran, harus kita blokir jauh dari dalam wadah pemikiran kita. Seharusnya kita perlu memberikan penghargaan bagi keberhasilan yang telah dicetak. Setidaknya, dapat menjadi semangat untuk kembali melanjutkan perjalanan kita. Melanjutkan perjalanan kita menggapai cita-cita. Pengangguran bukanlah step lanjutan yang mesti ditelan setelah sarjana seperti yang dikemukakan Wiwi. Meskipun langkah selanjutnya memang akan terasa lebih tajam lagi. Keberhasilan memang butuh perjuangan yang lebih keras dibanding dari apa yang ada dalam pikiran kita.
Sebenarnya, yang mengakibatkan sarjanawan menjadi pengangguran dan bertaburan diberbagai sudut adalah, karena tidak adanya kerja sama antar universitas dan mahasiswa itu sendiri. Tanpa adanya ketegasan dari pihak universitas dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas, maka akan mengakibat kelumpuhan terhadap lulusan tersebut. Paling tidak, mereka dapat membangun lapangan kerja sendiri tanpa harus mengharapkan CPNS. Dengan demikian, peran universitas sangat dibutuhkan untuk menghapus adanya pengangguran tersebut. Dengan kata lain, universitas harus mensejajarkan antara kuantitas dan kualitas setiap mahasiswa. Universitas harus lebih jeli memfilter mahasiswa-mahasiswanya, demi menghasilkan mahasiswa yang berkualitas dari segi potensi dan skillnya.
Dalam sambutannya Rektor Unhalu, Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS meminta kepada para dekan setiap fakultas untuk bekerja sama menetaskan wisudawan berkualitas dan melacak lapangan kerja alumni sebagai wujud akuntabilitas universitas terhadap masyarakat. "Jangan sampai kita hanya mencetak pengangguran. Kita berupaya keras untuk melaksanakan pendidikan yang menghasilkan lulusan terbaik yang kreatif dalam mengadaptasi dunia kerja dalam berbagai dimensi kehidupan lainnya," kata Usman dihadapan para wisudawan yang juga dihadiri oleh Wakil Walikota Kendari, H. Musadar Mappasomba, Dekan, dan sejumlah guru besar.
Ketua Forum Rektor Indonesia Periode Tahun 2012 juga, meminta kepada kepada alumnus yang telah bekerja di berbagai bidang kehidupan agar terus meningkatkan kinerja mereka. Hal ini, dapat memperlihatkan pertanggungjawabannya kepada masyarakat bahwa ahli muda, sarjana, dan magister lebih baik dari pada yang dikirakan. Sehingga, hal tersebut dapat dijadikan pleidoi bagi pernyataan ‘’wisuda mencetak pengangguran’. Rektor Universitas Haluoleo tersebut pun, memberitahukan agar para wisudawan dapat tumbuh dan berkembang. Memanfaatkan skill yang diperoleh saat kuliah untuk dijadikan sebagai salah satu cara membunuh adanya pengangguran. Akhirnya, dengan begitu dapat mencetak generasi penerus pembangunan bangsa yang mengabdikan seluruh kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk kemaslahatan dan kesejahteraan Sulawesi Tenggara khususnya, kepentingan bangsa dan negara serta bagi kemanusiaan secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar