Selamat Datang, selamat menikmati fasilitas kami

Rabu, 06 Juni 2012

Cerpen: Aku, Kaus kaki, dan Si Lupa

-Wa Ode Fitria-

Kamis, 29 Maret 2012

       Aku sedikit lupa tentang apa yang membuatku terbangun pukul 3 dini hari. Tiba-tiba mataku membuka, kantukku sedikit terusir yang sebelumnya mengerat. Seperti biasanya, setelah terbangun aku selalu meraih henpon, melihat jam berapa saat itu-maklum, di kamar tidak ada jam dinding, juga jam tangan. Aku hanya tidak terlalu ingin memiliki kedua barang tersebut. Selain selalu saja rusak dengan cepat, jam tangan misalnya kurasa benda itu sangat tidak cocok untukku-. Bukannya bangun, aku malah mengencangkan selimut ke tubuhku, mencari sepenggal kantuk yang tadi telah lepas.
       Bergumul dengan bantal dan mimpi, akhirnya jam lima lewat aku berhasil bangun. Membuka mata lebar-lebar mengusir ngantuk dengan sekuat tenaga.

****
         Pagi masih dini, hari itu. aku sibuk mengangkat tumpukan buku, menggeser ember kecil, memindahkan barang-barang yang bersandar di dinding kanan kamarku. Sejak tiga hari lalu, benda kecil itu belum saja kutemukan. Ah, jangan sampai di bawa lari oleh si bleki, gumamku dalam hati. Dengan tenaga yang masih segar aku berusaha mencari dan tetap mencari benda itu, namun akhirnya tidak jua kutemukan.
    Harus kuakui, ada penyakit baru yang menyerangku sejak awal-awal kumulai berkuliah. Aku mulai mengalami lupa yang dapat dibilang lumayan serius, padahal tentu umurku masih sangat muda, 19 tahun. Sempat berpikir bahwa apa memang aku mengalami low memori. Tetapi, aku tidak terlalu serius memikirkannya. Hanya kadang-kadang saja kupikirkan, sengaja membiarkannya dan tetap menikmatinya.
        Tetapi, harus pula aku akui, penyakit itu untuk beberapa hal membuatku begitu terganggu. Bayangkan! Aku terkadang nyaris lupa dengan hal yang bahkan tidak kurang dari semenit kulalui. Sungguh, megitu mengganggunya bukan?
         Kejadian mengganggu itu kembali menimpaku tiga hari lalu. Perlu kuceritakanmaaf ini hanya sepele, tapi percayalah ini benar-benar menggangguku. Seperti hari-hari biasanya, jika pagi datang dengan cerah yang ceria, selalu saja ditutup dengan sore yang menghujan. Itulah musim yang dimiliki kotaku saat ini.
Hari itu, selepas aku berkuliah, aku dan beberapa teman berkunjung ke salah satu kos-an baru milik Linda dan Yuni, temanku. Bukan untuk perayaan kamar baru, bukan pula acara syukuran. Seperti biasa kita selalau mengunjungi kamar teman selepas kuliah pagi. Hal ini selalu kita lakukan, sebab masih ada satu atau dua kelas lagi selepas siang nanti. Jadi, untuk beristirahat atau menyeduh mie, kita lakukan di salah satu kost-an teman.
          Tidak disangka, ketika kembali, langit yang tadinya biru bercahaya, direnggut paksa oleh awan hitam nan gelap. Pertanda hari akan hujan lebat. Kami kembali ke kampus dengan setengah berlari. Kost-an Linda berada disalah satu lorong depan kampus. Jadi, kami tak perlu menggunakan angkot atau ojek untuk kembali ke kampus. Saat itu kami bertujuh, aku, Isra, Ria, Yuni, wirda, wahid, dan Ipin. kami berlari-lari kecil menghindari gerimis yang sudah mulai menetes. Tetapi, gerimisnya malah dengan cepat berubah menjadi hujan lebat. Padahal, kami masih harus menempuh kurang lebih lima ratus meter lagi.
       Alhasil, sesampainya di kampus, kami mengalami basah-basah kecil. Tidak mengapa. Kami masih punya waktu mengangin-anginkan pakaian sebelum dosen mengisi kelas.
      Setelah hujan lumayan berhenti, aku mengambil langkah ingin berwudhu. Mengingat tadi belum kutunaikan kewajiban pokokku menghadap Allah. Kutelusuri lorong yang hanya kurang lebih sepuluh langkah menuju tempat wudhu. Perlahan membuka kaus kaki, kemudian dengan takzim berwudhu.
        Ternyata kelas sudah mulai, bahkan sebelum kuselesaikan sholatku. Dengan gerakan cepat, aku berlari-lari keci menuju ruangan, tidak lagi manyarung kaus kaki. Kaus kakiku kuletakkan di saku celana, sebab tas tak aku bawa, kutitipkan pada isra.
       Setelah kelas beakhir, aku merogoh kaus kaki, tak ingin kupakai, hanya kusimpan di kantong tas. Sebab, selepas hujan, matahari tak lagi begitu menyengat, apalagi kelas sudah tidak ada dan saatnya kami untuk pulang ke rumah masing-masing.
       Sesampai di rumah, hingga hari berlalu dan besok menjemput, aku bahkan tak tahu di mana telah kuletakkan kaus kaki yang sebelumnya kusimpan dalam saku tasku. Aku juga lupa, apakah benda kembar mungil itu sudah kupindahkan dari dalam tasku ataukah belum. Meskipun aku nyaris berperilaku kasar pada tasku saat mencarinya, tetap saja tak jua kutemui. Padahal kaus itu adalah benda yang kusayangi. Kaus yang kubeli dari hadiah pertamaku menulis cerpen. Sebenarnya itu bukanlah masalah, bahkan meskipun hanya satu-satnya kaus yang kumiliki pun bukanlah masalah. Aku mempermasalahkan ingatanku yang begitu rendah. Aku lupa tempat, di mana kusimpan. Aku lupa pada hal yang kulupa. Aku tak mengingat apa yang aku ingat. Itulah sebenarnya yang menjadi masalah.
         Aku pasrah!
     “Win, kantung kamu banyak amat, minta ya?” Uli yang sedari tadi tidak kusadari, ternya sudah mengobrak-abrik tempat tumpukan kantung-kantungku. Aku menganggukkan kepala bertujuan menjawab pertanyaannya.
      “Win, ada apa sih di dalam nih kantung? Kok seperti gumpalan kaiin?” Uli tidak meneruskan kata-katanya. Mencoba mencari tahu apa isi dari kantung yang ia temui. Penasaran. Segera ia membukanya.
“Kaus kaki siapa nih Win?” tatap Uli yang langsung seperserinbu detik mengagetkanku.

****
“Haha.. wah, begitu yah ceritanya, gila lo Win, parah banget sih penyakit lo?” ejek Uli yang sedari tadi membujukku menceritakan insidenku bersama si lupa dan si kaus kaki.
“Tega lu Li, kok lho malah ketawain gue sih?” dengan perasaan jengkel aku menatap si Uli yang sejak tadi tak mau berhenti menertawakanku. Ia malah menyuruhku berkonsultsi ke dokter otak. Bayangkan coba, mana ada dokter otak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar