Selamat Datang, selamat menikmati fasilitas kami

Kamis, 31 Mei 2012

OPINI: Benarkah Sekarang Semua Telah Menjadi Terang ?…


-Wa Ode Fitria-

        Dahulu, ketika kita belum ada, saat nenek moyang kita berkuasa, semua yang ada dalam kehidupan masih dalam keadaan yang baik-baik saja. Hari akan gelap ketika  malam menyapa, dan siang akan tetap hadir dengan terangnya. Malam tetap memperlihatkan gelap dengan taburan bintang diikuti senyuman manis rembulan di langit. Dan ketika malam digantikan dengan siang, mentari tak pernah malas bangun pagi untuk melakukan ritualnya seperti biasa, memberikan pancaran cahayanya kepada setiap makhluk yang hidup maupun yang mati. Daun-daun pun masih tetap hijau meski musim kemarau menyapa.
      Kini, banyak yang telah tergantikan posisinya. Mata saya melihat, sekarang semuanya telah menjadi terang seketika. Malam tak lagi datang dengan gelapnya. Bintang-bintang terkadang apsen untuk sekedar mempercantik langitnya. Ditambah pula bulan yang bolos karena semakin irinya terhadap banyaknya bentuk yang menyerupai dirinya. Alhasil, awan putih yang bahkan kini telah berubah menjadi abu-abu yang dipaksa hadir menyaksikan berbagai bentuk perubahan yang dihasilkan oleh tangan-tangan ahli berpendidikan di bumi tercintanya.
     Malam tidak pernah marah, karena harus dimiripkan dengan siang. Tetapi, dia hanya menginginkan perubahan yang terjadi tidak harus mengusir yang lama dan membawa serta menggantikannya dengan yang baru. Sempat dia membisikkan rintihannya pada angin bahwa ‘yang baru tidak selalu mendatangkan yang bagus’. Namun, angin malah menjatuhkan pesannya pada ranting-ranting pohon yang menerjang sebuah mobil mewah. Angin sendiri juga tak tahu harus membawa kemana surat cinta dari sang raja malam itu. Dia pun tak sengaja menjatuhkan pesan itu, pesannyalah yang menginginkan menjatuhkan dirinya di antara pepohonan yang tinggal beberapa batang.
       Ketika nenek moyang kita bermetamorfosis ke alam lain, dia meninggalkan pesan untuk tetap saling menjaga. Akan tetapi, anak dari nenek moyang kita lupa akan pesan singkat itu. Mungkin mengabaikannya. Malah mungkin tak memperdulikannya.
        Semua telah berubah. Atap rumah yang dulu hanya terbuat dari daun kelapa, kini digantikan oleh atap-atap baru yang menyilaukan mata. Sebenarnya tak mengapa, tak disesalkan, bahkan lebih bagus atap baru itu dari daun kelapa. Namun, mengapa atap yang baru itu justru membuat matahari marah karena sinarnya malah kembali menerima pantulan. Seakan-akan dirinya tidak lagi di butuhkan dan mereka mencoba untuk mengembalikan sinarnya. Dia marah bukan karena kepandaian yang dimiliki anak-anak manusia, namun dia marah karena kepandaian mereka justeru hanya merusak kecantikan matahari itu sendiri. Lantas, kita tak boleh mengoceh jika akhirnya mentari kini malas bangun pagi. Mentari malah menelepon mendung untuk menggantikannya hadir dalam setiap jam kerjanya.
        Mungkin mata saya yang salah, telah melihat semua seakan  berubah menjadi terang. Tetapi, saya hampir tidak dapat lagi melihat gelap di malam hari. Memang semua orang memerlukan terang. Tetapi, bukan terang berawan putih yang di harapkannya. Terang dengan nuansa biru langit yang tetap terasa sejuk di hati meski diterpa sengatan matahari di siang hari.
       Kini, perubahan besar-besaran terjadi dari berbagai segi di seluruh belahan bumi. Perubahan yang diciptakan sendiri oleh belaian tangan manusia-manusia itu sendiri. Menyulap kono menjadi  modern. Menghipnotis mata menjadi mimpi. Kebanggaan tetap ada jauh di dalam lubuk hati teruntuk perkembanggan yang melejit sepesat ini. Namun, seharusnya perubahan itu menjadi lebih dari indah dibanding awal mula. Sebenarnya, bukan pula tangan-tangan itu yang salah, telah menciptakan berbagai perubahan. Mereka hanya menginginkan sesuatu yang beda. Sesuatu yang tidak boleh sama yang diciptakan Tuhan dengan yang diciptakan mereka. Hanya saja kesalahan teknis yang terkadang menipu mereka untuk tetap berada dalam kesalahan.
      Banyak orang bangga dengan mereka, namun banyak pula yang hanya lewat mencibir kepandaian mereka. Banyak orang yang mengerti dengan hasil tangan mereka sebagai bentuk eksperimen gila yang mereka lakukan. Namun, banyak pula yang buta terhadapa eksperimen yang dibuatnya itu. Salah. Bukanlah mereka yang buta, tetapi mereka yang disulap untuk menjadi buta. Hingga akhirnya, pertanyaan benarkah sekarang semua telah menjadi terang? sulit malah tak bisa untuk mereka temukan jawabannya.

OPINI:TEKNOLOGI MENJADI IBU BAGI KARYA SASTRA


OLEH

WA ODE FITRIA
A1D1 09 027


Jika ada pertanyaan bahwa: apa yang kini membuat orang mampu menggenggam dunia dengan jari-tangannya? Maka, sudah pasti teknologilah jawabannya. Sebuah terapan ilmu yang dirancang khusus untuk mempermudah segala aktivitas manusia. Kehadiran teknologi menjadi wadah yang sangat berpengaruh dalam mencerdaskan generasi dan kehidupan bangsa. Baik itu teknologi fisik, medis, terlebih pula teknologi dalam bidang informatika.
Bidang teknologi informatika, yang biasa dikenal dengan internet atau international network merupakan suatu jaringan internasional dan menjadi satu pendidikan baru yang merangkul semua cakupan pendidikan. Teknologi internet hadir memberi warna bagi perkembangan seluruh aspek ilmu pendidikan, kehidupan bisnis, hubungan sosial, dan ragam lainnya. Pada tuts-tuts komputer atau laptoplah segala informasi dunia dapat diakses dengan mudah. Inter-net menawarkan hubungan yang multifungsi dan banyak manfaat bagi manusia.
Kemunculan teknologi informatika, menjadi wadah untuk berekspresi sesuai dengan capability seseorang. Sehingga orang tertentu dapat mengetahui potensi dirinya yang “mungkin” masih terpendam. Adanya teknologi mampu menjadi ibu yang dapat melahirkan penulis-penulis muda berbakat. Ya, pada kenyataannya penulis-penulis muda berbakat banyak pula yang dibentuk melalui dunia maya. Hal inilah yang dikatakan bahwa antara teknologi dan manusia itu sendiri memiliki hubungan yang sangat dinamis. Hubungan yang pada akhirnya melahirkan karya-karya fenomenal-multispirit.
Jika penulis dulu masih menggunakan ballpoint dan kertas untuk menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan yang nantinya akan dipublikasikan. Pada abad melinium ini, seorang yang berpotensi menjadi penulis dengan mudah diperoleh melalui hubungan dengan internet dalam dunia teknologi. Tentu hal ini pun tidak berarti menggampangkan dunia tulis-menulis, juga bukan berarti menyulitkan kegiatan tulis-menulis. Tetapi, yang menjadi permasalahan adalah teknologi internet memiliki salah satu sisi positif dalam dunia kepenulisan masa kini.
Raditia Dika misalnya, lewat hobinya menuliskan kisah seputar kehidupannya yang diramu sekonyol mungkin dengan gaya bercandaan khas dalam blog pribadinya, menuai komentar positif dari para pembacanya dan akhirnya mampu menjerumuskan ia sebagai seorang penulis terkenal dengan karyanya yang best seller. Bukunya yang berjudul Kambing Jantan, Sebuah Catatan Pelajar Bodoh menjadi bukti bahwa dalam dirinya terdapat potensi untuk menjadi seorang penulis. Dan teknologilah yang mengantar dirinya menemukan sisi lain dari potensinya untuk menjadi seorang penulis terkenal.
Kisah lain oleh Agnes Davonar, yang mengguncang karya sastra Indonesia dengan kisah yang diceritakannya lewat blogya pula. Cerita yang ditulisnya mampu membius para pembaca online¸ hingga pada akhirnya ia pun menjadi penulis dengan karyanya Surat Kecil untuk Tuhan yang fenomenal hingga menuai kontroversi. Agnes Davonar yang tidak memiliki  latar belakang seni ataupun sastra, tetapi melalui kegiatan menulis pada blog pribadinya dapat pula membawa ia pada dunia kepenulisan yang tidak dikenal sebelumnya. Sehingga bukti rill menjelaskan bahwa teknologi memegang peranan penting dalam potensi dan karier seseorang, dan manusia menjadi relasi yang mampu mengarahkan sisi positif teknologi informasi masa kini.
Begitu pula dengan cerita Arham Kendari. Lelaki asal Sulawesi Tenggara ini, akhirnya merangkap profesinya selain sebagai kartunis sebuah harian lokal juga sebagai penulis. Tak berbeda dengan Raditia Dika, setelah menuangkan a day story yang bergaya humor, mengantarkan Arham Kendari menjadi seorang penulis dengan maha karya perdananya Jakarta Underkompor yang juga menjadi best-seller. Meskipun tidak dengan basic sastra, seorang lelaki kartunis ini mampu menembus penerbit kelas atas untuk karya fenomenalnya. Hal yang menjadi mungkin bahwa dunia kepenulisannya pun diperoleh melalui dunia teknologi internet yang super canggih.
Maka, antara teknologi dan manusia, terjalin relasinitas yang berdampak positif. Banyak dari beberapa penulis yang dibentuk melalui dunia teknologi internet. Hal yang kemudian hadir mematahkan persepsi negatif terhadap dunia internet.
Internet dan karya sastracerpen ataupun novelkini menjadi satu paket khusus yang sama-sama dihasilkan oleh tangan-tangan manusia.
Atas dasar kenyataan tersebut, kemana hendaknya akan  kita bawa kecanggihan teknologi yang ditawarkan oleh dunia ini? Kini saatnya kita bangkitkan kepercayaan diri, berbenah diri untuk mengkolaborasikan antara kecanggihan teknologi masa kini dengan potensi yang masih belum kita gali dan manfaatkan. Hal-hal penting jangan sampai kita abaikan dengan tidak bercermin pada kesuksesan yang telah berhasil diraih banyak orang. Potensi yang kini masih terlelap dalam tidur panjangnya harus segera kita bangkitkan untuk menantang kerasnya persaingan dunia.
Semesta pun yakin akan ikut mendukung terwujudnya generasi pencetus tonggak kepemimpinan baru masa depan. Pelopor dan ahli terdahulu pun menjadi cerminan kita dalam menjelajahi dunia yang serba canggih ini. Satu hal yang perlu kita tanamkan adalah menjadi seorang yang berhasil itu mudah, namun menjadi seorang yang berhasil dengan martabat dan wibawa yang baik itu adalah yang harus kita kokohkan dalam diri kita. Apalah arti sebuah keberhasilan tanpa cerminan yang baik pula bagi orang lain. Sebab harapan terbesar dunia ada dalam genggaman masing-masing generasi muda saat ini yang harus mampu menghasilkan perubahan berkarakter untuk diri dan bangsanya. Dengan demikian, demi terwujudnya harapan tersebut perlu kita gagas sematang mungkin potensi kita untuk menjemput arus masa depan yang penuh tantangan.

SASTRA DAERAH WAKATOBI “Prosa Lama, Puisi Lama Dan Drama Dalam Bahasa Tomia” ( WAKATOBI )


Wa Ode Fitria
A1D1 09 027


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS  KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI

2011



A. PUISI
1. Teka-teki (Taningku-taningku) daerah wakatobi
Taningku-taningku, malingu wila asu nohenangka kene iya
(Teka-teki, kemnapun aku pergi kesitu juga ia pergi)

2. Mantra (Bhatata) daerah wakatobi
Mantra (bhatata) bila hendak berlayar
Ee moori,
kanae kulumangkemo,
huu kami teiri leyama, huu kami te luha,
huu kami terajakii, huu kami tesalama,
miana kowila sampe apa kamaliyako.
Artinya :
Ya Allah,
kini kami akan berlayar,
berilah kami angin yang bagus, berilah kami keteduhan,
berilah kami reski, berilah kami keselamatan,
sejak kami berangkat hingga kami kembali.

3. Lagu-Lagu daerah (Hekadhangki Nu Kampo) wakatobi
              Hune
Ane… kehu…nesu…
Ane… kehu…nesu… saulu…
Teapata numalingksa
Tee… saurano…
Tunggala reya-reya…
Huu… huu… huu…
Toka meya… nae… no... lolamo…
Nohe… laisi.. na…kumo
Hu… ne. mai… mo…
Ku… moni… mplaa.. kokomo
Hunesu …maimo… huu…ne.
Artinya :
Aku memiliki burung
Aku memiliki seekor burung
Yang sangat-sangat indah
Iya bekicau
Setiap pgi
Huu…huu…uuu
Tapi kini telah tiada, terbang entah kemana
Ia telah menjauh dari sisiku
Hune, kembalilah hune
Aku sangat rindu padamu
Hune miliku, kembali padaku

4. Syair daerah wakatobi
Syair yang berupa adat
Rambi naganda ibella
Rambi naganda
Sara tobungku ibela
Sara tobungku
Atinya :
Tabuh gendang saudara
Tabuh gendang
Sara/adat kita tunduk saudara
Sara/adat kita tunduk

5. Bidal (Peribahasa) daerah wakatobi
Bele kepu ke kuni atau awana lulu kene epu
(Bagaikan kunyit dan kapur)


B. PROSA
1. Sejarah daerah Wakatobi
Asal Mula Liantambanga

Imolengo te ammai mansuanan i Tomia, mia te mina osuku bagia likumbua no pande po’awa-awa i liantambanga ako amobisara atafa amogau ako kandeuka nu barangka. I jamani falanda te kene koruo i Tomia no sai da’oe te ammai falanda. Jari te ammai mansuana-mansuana no poafa-afa a fana umpa na fafalanda ana, no sepe mina i futa Tomia ana. Jari ba’anee na mansuana Tomia nomalawa ka falanda kene kontaramano awama kabali, piditi, kene sosoi.
Te lia miatu no pajarie te tampa pobisara ako adati kene ukka nopajari ako te tampa nuhoja’a nu podaga. Kalentuno te ammai mansuana no wikiri kua te liantambanga atuna no malino jari nosanna no pobisara akkone na pogau nukene koruo. I tomia nukoruona mekatumbu ako te podaga kene pawangka-wangka, kalentuno i Tomia iso no kura na katumbua jari buntu ta modaga wa’a ta kumaeya kene ta tumumbu ndeu.
Te lia i sisi nu tai i hu’umbatu, i foru nu likumbua atu no jari tampa po’afa-afa nu kene koruo. I fakutu pohoko-hokomate’a i barangka, te ammai daidana kene mansuana fofine no paokkoemo i lia miatu. Kalentuno te lia miatu nondeu ako te tampangano okko’a. Kene no mellai mina i tampanga nu kene koruo kene uka anne’e kene te’eno i lalo. Jari nopo’oli tumumbu melengo nakene i lalo atu.

2. Kisah  Daerah Wakatobi
TIMBARADO KENE SIPANYONG

Tula-tula iso, I jamani hia ana, anne kene dumongka mina I bahagenu Taranate. I ia dumongka ana ibaai te nganno Sipanyong. No dongka na Sipanyong ana no parangkai I bata ilaa no koroma. Sakua no dongka no tumpu I asa pulo. Te pulo miaatu nongannemo te korommaha. No sampe ima atu no millu na kene I poafano. Kaamea no sii te pulo a kedua, poli mi atu no pili te pulo medani kene tampano. Te Sipanyong nungane duka kua I la baja hitu siku. Pooli mia atu la amo no nangu no henau ka pulo medani ana I kaane, no tumpu I one safengka kaombua nu pulo.
Sakua no sampe mo I la Sipanyong ana no sisiimo te kene duka. Kaamea I maatu meaho duka na kene. Jari no laha mo ako te sampeangano,noafa I tadu.jari nokedemo I mi atu na I la Sipanyong. I wakutu kedeno atu meyaho alaa na kene I siino. Jari as wakutu, la sipanyong nu kede-kede I pus nu fatu kene no hekadangki ako te tumbuno I ma atu tehekadangkino atu “dulu-dulu dalangi manga te umbe-umbe, sabotolo na ginta, ginta toppa rondo, haji tuko I langi forunde no duku kandoa talli I sekka”. Kaamea asa wakutu duka I la Sipanyong a liu mea na kene I poafano I ma atu, I iya no yinnsu kua sampela. I sampela I la Sipanyong nu kede I lalo nu lia. Ara I ma atu kai no poafa duka te kene, kaamea I la Sipanyong no ekka kua gunnu. No sampe mo duka I gunnu atu no sii no luasi ka ttai. Kaamea asa wakutu no sii te fangka mai mina I bahagia nu uju nu lentea.
La Sipanyong asa no sii te fangka atu, no henau kua one no siimo kua a umeka I maumpa na fangka na isii no ana. Jari no fila no henau, kaamea annee I lalo nu rompo. No hikidongomo te goru. No tangamo na I la Sipanyong ana kua “polio mina I maumpa na ana. No fila toruso ka tampa nu goru ana ikaane, sakua no sampe I tampa nu gumoru atu, no siimo te fangka kene safino laamo alumabu. Jari la Sipanyong ana no laga-laga kene no elo-elo te emmai safi nu fangka.
Sakua te ammai safi nu fangka ana no siine kua anne kene umello-ello I o’a kaane no fae nakene no asakene kua kumebunikko bara nosiingko tekene umello-ello alla. Jari nohebuniemo nakeneno iforu nu laeno. Teleano atu koruo te lea alaa nu kau kano. Pooli mia atu laamo no ekka no afa na sa kene umello-ello. Sakua no poafa kaamea no pobisara ako te tanga nu barangkano alaa. I fakutu nopobisara kai no dahanie kua nobisara tehira naasakene, jari no pakemo te tanga bandera. Kaamea te ammai laamo rumato I fangka an ate ngano Timbarado no mina ibahage solo. Sakua no emanne na Timbarado te sipanyong kua I emai na keneu, no tanga na Timabarado kua memesasu.
Pooli mia atu no potinua kua afumila alumaha te kene I pulo mia atu. Jari no fila mo no eli, kaamea umillu uka na kene I poafano. No tulu mo karaka no helafe tekirino. Pooli mi atu no fila mo duka. Nokiri  I fila’anggota, no tangamo na Timabarado kua ku faliako karaka kuparisa te fangkasu, kalapida ku mai kuafako duka. Notangamo na Sipanyong kua oho kalapida ku hetaongko imaana.
No faliako na Timbarado nosii te fangkano. Kaamea sakua no rato no poafamo kene-kene no. te kene no atu tenganno, sutinya. Notangamo na sutinya kua, I yaku ku sii te tai isafengka kaombua iso no eka no somburu. Timbarado kai no paracaea. No tangamo kua tea tai haira na ako te sumumburu. Kai molengo nakedeng-kede kone no hoja iso, pia-piamo nosomburu duka na tai. Pooli mi atu no lako parisae kaamea te fangaro mia baa haira. No alae nu fangaro atu maka laamo no bafae ka pussu nu gunnu. No ruto I gunnu la amo no follae na fangaro, maka no fae Sutinya kua maso akede I lalo nu fangaro atu, ara anne kene umafako maka no eme-emengko, fae kua te mina Ilalo nufangaro. Pooli mia atu no eli no afae na Sipanyong kene no hoja akone kua no afa te fofine  ilalo nufangaro. No hikidongo te hoja nu Timbarado, no tangamo na Sipanyong kua tiroau. Nohongo-hongo kao tefofine pake tanga taranate. Kene mo nofae na Timbarado kua mai to umbu to sii te fofine na fau atu. No filamo no umbu, norato I gunnu kedeme nu Timbarado kene sutinya, Sipanyong no ema-emannemo na Sutinya kua umina ma umpa. No tangamo kua ku mina I lalo nufangaro.
Molengo no pobisara ako te Sutinya na Sipanyong kene Timbarado kua I emai na ako te kumafia akone. No tangamo na Sipanyong kua, aliu iko na umafae, maka kafi ekoemmo ala ikoo, I aku kalapida kuhetao teana fofine miu.
Jari no kede mo asa-asa na Timbarado kene Sutinya I gunnu mia atu, sakua te Sipanyong no lako kabahagea suo-suo. Sakua hia taummo no kede asa-asa na Timbarado kene Sutinya, ka ame no hotokompomo sampe no tumbu ako te ana dapi hohitu. Totolu na moane, hoha’a na fofine. Sakua no to’oha te Sipanyong na kafiako te fofine ikara no nganne kua wa pada timu. Jari no sempamo duka na Sipanyong kene Wa Pada Timu I suo-suo.
Kai molengo Timbarado kene Sutinya nohotoana, I ammai ana no duka nokafi appa no ho to ompu, afana atu duka na Sipanyong kene Wa Pada Timu no hoto ana sampe no hoto ompu kene no tambae mo duka kene ammai la amo pumusa kabarangka mia ana. Sakua no koru-koruomo na kene, I asa fakutu Timbarado kene Sipanyong no pobisara ako kua asumai te bente. Jari no poasa mo kua asumai tebente karaka ako te Timbarado mi ate amai Timu Rambiranda, pooli nuaatu asumai ako te Sipanyong I suo-suo.
Jari no karaja mo I Timu Rambiranda. Te ammai suo-suo no umbumo. Pooli miatu sakua no amai na ako akumaraja te bente I suo-suo te ammai mina I Timu Rambiranda kai mo no hada. Jari no poanumo na mina I suo-suo kene Timbarado mina I Tim Rambiranda. Hiahulu tau napoanu miiso te mate koruo na mina I Suo-suo.
Kai molengo no hikidongo na mina Mansuana nu adati I Wolio kua anne kene poanu a nu ammai Timu Rambiranda kene Suo-Suo. No tudu mo te mansuana adati mina I kahedupa ako te moppo poassae na ammai pumoanu ana.
No mai mo na mansuana mina I Kahedupa kene kapalano I La Bontolonga. No mai ana kai no dahani duka na I ammai kua ibahage umpa na kampo pumoanu ana. Sakua no langke mina I kahedupa no sii te kene tumade I fafo nu fatu. Notangamo duka na La na La bontolonga kua o to na mia. No hengaropimo na fangkano ka tampa nu kene I sii mo atu. Sakua amedani e na pulo, kaane tekene I siino no molalo. No tangamo duka na la Bontolonga kua o te wali. No lanke torusu no eka I sampelapooli no fila no umbu no afa te Timu Rambiranda. Sakua no pooli Pumobisara kene mina I Timu Rambiranda no elimo duka ka ammai suo-suo.
Asakua no pada hada na ammai Timu Rambiranda kene ammai Suo-Suo ako a mobisara ako te poanu-anu ano. Kene mansuana  adati mina I kahedupa kua no aha na I komiu mina I Suo-Suo poanu. No tangamo kua I kami no tipu kami kua kasumai te bente karaka ako te Timu Rambiranda pooli laamo ka sumai te bente ako te suo-suo, ka amea sakua kopooli sumai ako te Timu Rambiranda kai mo no hada na ako ello ako ka sumai te bente I Suo-Suo. Pooli nofa mo duka te ammai Timu Rambiranda, kau no aha fa kai mo I hada ako kekuatan sumai te bente I suo-suo. Kaameate ammai mina I Timu Rambiranda kai no goru. No tangamo na mansuana adati mina I kahedupa kua ikomiu an ate ama kene ana. I poanu atu  millu na kumobe kene millu na motalo. Jari I komiu mina I Suo-Suo faliakomo ikomiu no hanga komiu kene ikomiu mina I Timu Rambiranda I komiu duka faliakomo I miu no golle-golle komiu. Ikomiu atu tea ma kene ana.
Pooli mia atu nofaliakomo bubaanee. Kene no millumo na poanu-anu a nu ammai Suo-Suo kene Timu Rambiranda. Apa mia atu I ammai no pomaafumo.

Terjemahannya :
Pada zaman dahulu ada seorang neleyan yang hanyut dan terdampar di sebuah pulau. Neleyan itu bernama Sipanyong yang berasal dari daerah Ternate. Ketika dia menumpang pada sebatang pohon korma yang terapung di atas air sampai terdampar  pada pulau yang tidak berpenghuni yang sekarang di sebut pulau korommha. Setelah dia sampai dia melihat ada dua buah pulau yang ada di dekat pulau itu, maka dia memilih untuk menuju ke pulau yang paling  dekat dengan tempat ia berada. Akhirnya berenanglah dia ke pulau itu dan naik di sebuah pantai yang ternyata tidak berpengaruhi. Setelah itu tinggallah Sipanyong beristirahat dan tinggal. Setelah sekian waktu tidak ada juga orang yang dia temui di daerah itu.
Karena Sipanyong tidak tahu mau membuat apa di tempat itu, maka pada suatu waktu Sipanyong duduk-duduk di sebuah batu sambil meggantung-gantungkan kakinya ke laut sambil menyanyikan pengalaman hidupnya setiap hari dan setiap malam di tempat itu. Nyanyiannya itu : “dulu-dulu dalangi managa te umbe-umbe sabotolu naginta, ginta topu ronda, haji tuko I langi forunde panda roduku kandoa talli I sekka”. (setiap hari kulihat-lihat langit dan saya makan daun umbi, satu botol Lombok campur dengan rumput laut dan haji yang tingginya sampai di langit sendiriku saja dengan memakan ubi jalar yang melilit di kayu yang di tancap). Sekian waktu di tempat itu tidak ada juga yang dia temui seorang pun, maka si panyong berpindah ke Sampela dan tinggal di dalam gua. Tidak lama kemudian dia berpindah lagi karena di sana tidak juga tidak ada yang dia temui dan naik ke atas gunung. Setelah dia tinggal di atas gunung, suatu waktu Sipanyong melihat ada sebuah perahu yang datang dari arah selatan menuju ke pulau tempat Sipanyong berada. Setelah melihat perahu itu Sipanyong berjalan menuju ke pantai di mana perahu itu akan berlabuh. Sementara perjalanan menuju ke tempat perahu itu di dalam hutan Sipanyong mendengar ada suara yang datang itu bukan hanya satu orang. Setelah sampai di pantai. Sipanyong melihat perahu itu mulai mendekat dan dia memanggil-manggil orang yang ada di dalam perahu.
Sementara orang di perahu melihat ada orang yang memanggil-manggil mereka segera menyembunyikan seorang temannya yakni seorang perempuan di bawah muatannya. Tuan perahu  yang datang itu bernama Timbarado dan Perempuan yang di sembunyikan itu bernama Sutinya. Mereka datang dari bagian solo (Flores) dari kerajaan Adonara. Setelah selesai berlabuh barulah Timbarado menemui Sipanyong di pantai.
Setelah mereka bertemu, mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing sehingga tidak saling mengerti. Nanti setelah mereka memakai bahasa isyarat barulah mereka saling mengerti. Sipanyong bertanya tentang siapa temannya Timbarado di perahu, tapi Timbarado menjawab Tidak ada. Setelah mereka lama bercerita tentang asal Timbarado begitu pula tentang Sipanyong, barulah mereka berjalan ke bagian barat pulau untuk mencari orang, namun tidak ada juga yang mereka temui. Setelah sekian jauh mereka berjalan, akhirnya Timbarado berkata kepada Sipanyong bahwa saya ingin kembali dulu melihat perahu dan menyuruh sipanyong untuk menunggunya. Maka kembalilah Timbarado untuk melihat perahunya juga melihat sutinya yang di sembunyikannya. Setelah sampai sutinya menceritakan kepada timabarado bahwa dia melihat air laut yang menyembur ke udara. Mendengar hal itu, Timbarado tidak percaya, tapi tidak berapa lama tiba-tiba air menyembur ladi ke udara. Maka diajaknya sutinya untuk melihat ternyata ada sebuah kerang besar. Melihat kerang besar itu Timbarado lalu mengambil dan membawanya ke atas gunung. Setelah itu dibelahlah kerang itu dan menyuruh Sutinya untuk tinggal dan kalau ada orang yang menanyakannya maka katakana bahwa saya berasal dari dalam kerang itu. Setelah itu baru Timbarado pergi menemui sipanyong untuk menceritakan bahwa dia menemukan perempuan dari dalam kerang. Mendengar cerita Timbarado itu Sipanyong lalu marah karena merasa telah ditipu oleh Timbarado. Maka datanglah Sipanyong untuk melihat Sutinya perempuan yang diceritakan Timbarado itu. Setelah mereka bertiga bertemu Sipanyong bertanya kepada Sutinya tentang asalnya dan di jawab oleh sutinya bahwa saya berasal dari dalam kerang dan ditemukan oleh Timbarado. Pada waktu itu bertengkarlah Sipanyong dengan Timbarado siapa yang lebih berhak atas perempuan itu. Sekian lama mereka bertengkar, maka berkatalah Sipanyong bahwa silahkan kamu Timbarado mengawini Sutinya tapi saya akan menunggu anak perempuan kalian lahir untuk saya jadikan istriku.
Maka Timbarado dan Sutinya hidup dan tinggal di gunung sedangkan Sipanyong tinggal di Suo-Suo. Sampai suatu ketika Sutinya  hamil dan melahirkan anak kembar tujuh, yakni empat perempuan dan tiga laki-laki. Setelah besar salah satu dari anak perempuan itu dinikahi oleh Sipanyong dan mereka tinggal di Suo-Suo.
Sekian tahun sudah berjalan kehidupan mereka dan orang sudah banyak yang datang di tempat itu. Maka mereka membuat suatu perjanjian untuk bergotong royong membangun benteng. Pada perjanjian itu mereka sepakat untuk membuat benteng di timur rambiranda untuk Timbarado setelah itu membuat benteng di Suo-Suo untuk Sipanyong.
Akhirnya bergotong royonglah mereka untuk membuat benteng di timur Rambiranda. Setelah membuat benteng di Timur Rambiranda maka giliran untuk membuat benteng Suo-Suo. Namun pihak Timbarado sudah tak mau pergi mambuat benteng di Suo-Suo. Maka terjadilah perselisihan Timbarado dan Sipanyong selama bertahun-tahun perselisihan itu berlangsung antara Timbarado dan rakyatnya beserta Sipanyong dan rakyatnya. Perselisihan itu banyak korban di antara mereka terutama dipihak Sipanyong yang dari Suo-Suo.
Maka suatu waktu Sara Wolio mendengar perselisihan itu, maka diutuslah Sara Kaledupa yang di ketuai oleh La Bontolonga untuk mengtasi perselisihan Timbarado dan Sipanyong. Maka datanglah Sara Kaledupa, tepi Sara Kaledupa sendiri tidak tahu  dibagian mana perkampungan di pulau itu. Tapi mereka tetap mengarahkan perahunya ke pulau itu dan tiba-tiba mereka melihat orang yang berpakaian putih-putih berdiri di atas batu. Melihat itu Sara Kaledupa berkata itu ada orang. Maka segeralah mereka arahkan perahunya ke tempat orang itu. Tapi setelah dekat tiba-tiba orang itu hilang dan berkatalah Sara Kaledupa berarti yang kita lihat adalah Jin. Mereka tetap menuju kea rah pulau itu dan naik di sampela. Barulah mereka berjalan kea rah timur dan menemukan kampong yakni Timu Rambiranda. Setelah berbicara

3. Dongeng (Tula-tula)
a. Fabel Daerah Wakatobi
Tula-Tula La Kolo-Kolopua ke la Ndoke-Ndoke

Sapaira-sapaira iso, ane ke miya mokene, tengaano te Kolo-Kolopua ke Landoke-Ndoke. Sawakutuu, no wila nobhose-bhose dhi mawi. Dhi tangasa nubhose-bhose aana, yaka lengoumpa no itamo te bhata, jari no wilaiisiemo nabhata dhi itano. Piyamo no metangkumo maka no nodhahanie kua mbeyaka te bhata, toka te huu nu loka dhumongka. Jari no pomawakamo dhodhue kua mai toala akoe na huu nulokaana maka tosai dhodhue. Jari noleyama di koli-kolinu maka no waliyako kua togomai.
Sapaira-sapaira ana, di laro nu bhose-bhoseano, nopogaumo na Ndoke-Ndoke kua, “bharamo tasayi dhodhuae, toka diphodhawuemo”. Norodhongo tepogau nu Ndoke wanaiso, te Kolo-kolopua habuntu nobhaloe kua, “Nojaro aalaa”. Nophogau uka na Ndoke kua, “ Ara awanaatu teiyaku kumala te umbono parantaeya anemo keroono”. Nobhalo uka na Kolo-kolopua kua yaka kuhumadha, teiyakudho kumala te umbuno. Jari nopogagayaimo dhodhua, toka nomotalo na Kolo-kolopua. Pasi iso no pumavakamo kua te Ndoke-ndoke namala te umbuno, te Kolo-kolopua noala te huuno.
Yaka lengoumpa noratomo dhi togomayi. Saratono ana, nowila agorie na Ndoke-Ndoke no aala te kabhali. Samayi-mayino ana nogonti na huu loka diawano. Te iya noala te umbuno, te Kolo-Kolopua noala te huuno. Pasi iso nopogaumo na Ndoke-Ndoke kua “oela Kolo-Kolopua, teyikoo komembhulae dhi umpa umpa na lokaau?”. Nobhalo na Kolo-Kolopua kua “Teiyaku kumembhulae dhi togomai”. Te Andoke-ndoke o pogau kua”ara teiyaku kumembulae dhi kapala nu one”. Pasi iso nopogaamo dhodhuae, tunggal-tunggala miya nowila nonohembhula te loka. Mina dhi atu mbheayakamo nopoa-poawa.
Molengo-moleng, te Ndoke-Ndoke kene ya Kolo-Kolopua nopoawamo dhi aka-akaa. Sapoawanoana no emamo na Ndoke kua, “Oela Kolo-Kolopua, wanaumpamo naidho nulokau?”. Nobhalo uka na Kolo-Kolopua kua, “telokasu laamo noumba naroo no”. “Ara teyiyaku ombomo na belo-belono”, nobhalo na Ndoke-ndoke. Pasi iso nopogaaamo dhodhuae.
Umara sakombamo na lengono maka nopoawa dhodhuae. Sapoawanoaana, noemamo na Ndoke-ndoke kua, “oela .. Kolo-Kolopua, awanaumpamo naidho nulokau”. Nobhaloe na Kolo-Kolopua kua, “Telokasu noombomo na belo-belono”. Nobhalo na Ndoke-ndoke kua, “ara teiyaku noidho saroo, no mate saroo”. Norodhongo wanaiso na Kolo-Kolopua, babuntumo nopogau kua “kuilikua te lokau na bhumaemo, parantayea teyikoo nuala teumbuno, jari namedhombi bhumae”. Pasi meyasoe nupugaamo sawali.
Yaka lengoumpa, nopaawamo sawali sawali, dhi aka-akaa. Nopogaumo na Ndoke kua, “oela.. Kolo-Kolopua, awana umpamo nalokau?”. Nobhalo na Kolo-Kolopua kua, “Telokasu notuhumo na pepuuno”. Te Ndoke-ndoke, nopogau kua, “Ara telokasu nomokurimo na roono, umura namatemo”. Pasi iso nopogaumo na Ndoke-Ndoke kua, “Ara nomotaa na lokau, nuelo aku akoane kueka akoko, parantaeya te yikoo mbheayaka nudhahani teeka-ekaa”. Te Kolo-Kolopua nopogau kua, “pasiti kuemoloko”.
Sapiyaoloono, nowilamo na Kolo-Kolopua nolaha te Andoke-ndoke. Sapoawa akono nawaaemo kua, “Ola Ndoke-ndoke, mai wila eka akonaku te lokasu. Telokasu nomotaamo diumbuno”. Norodhongo wanaiso, agori-agori na Ndoke-ndoke no makakau. Yaka molengo no wilamo dhodhuae kua huu loka hu Kolo-Kolopua. Saratobo dhi iso, te Andoke-ndoke agori noeka kua umbu nuloka. Te okolo-kolopua notao-tao dhi mopera. Saratono dhi umbu nu loka, malingu motaano nomangae sabhaane. Te Kolo-Kolopua nopogaumo kua, “ola Ndoke-Ndoke, bhoka aku keiyaku te motaano”. Mina dhi umbun nu loka, nobhalo na ndoke-ndoke kua, “sabaraho lagi, kunami-nami kuku adho”. Tenami meyasoeyai, ahirino nopidhie sabhane. No ita temingku nu Ndoke awana iso, te Kolo-kolopua nomohoyo na larono. Ahirino nopogau kua, “ola ndoke-ndoke, tao-ntao aku, kumanimpala akokoho te huu nu loka ana, akoane nutuhu mbheyaka nu mohoyo kene mbheyaku nu leluma. Pasi iso, te Kolo-Kolopua nasosoyi te yampa maka notanoe dhi huu nu loka. Dhi wawo nuampa iso nutorayiapie te roo nu loka. Pasi iso nopogaumo kue, “ola.. Ndoke-ndoke, ara nutuhu hempo te meyangianoana, teiya ane ke roo nulokano, bara ako noleluma, kene bara ako nomohoyo”. Sapidi akomo sabhane na loka, yaka lengoumpa, mina dhi umbu nu loka, te Andoke-ndoke notuhumo. Pasi-pasi nohempo te roo nu loka mondo dhi tala nu akolo-kolopua. Satuhunoyana, sabhaane na orunguno no sukue te yampa, ahurino nomate akoe. Ampisi numohoyo nu laro nua Kolo-Kolopua, nuwila noala te kabhali maka nodhori-dhorie nu urungu no Ndoke-ndoke. Pasi nodhori-dhorie maka amo nuwila naparaesoe. Kene para-parateeno, nokulili te kampo maka noelo-elo kua, “bhalu te bhakasa”, “bhalu te bhakasa”.
Norodhomgo te elo-elo dhi kampo wanaiso, sabhaane na Ndoke-ndoke mayi no polelewu, noita te bhakasa dhi yaso nu Kolo-kolopua. Ane ke ndoke bhumalu, toka ane ukaa kambheyaka bhumalu parantayea notopidhimo. Satopidhimo na bhakasano, ahirino te Kolo-kolopua no waliyako kua wunuano. Toka di laro nuwilaa, noelo-elomo kua “nomanga-nomanga te bhakasa nundoke kenemiyuoo...”, “nomanga-nomanga te bhakasa nundoke kenemiyuoo...”. sarodhongho wanaiso, sabha ane nundoke nupulelewu maka no lahae na kolo-kolopua. Saawa akono nolemba koruoe noghotie, nopamasoe nakapalano na kolo-kolopua kua laro nuurungun, jari habuntu noraho te yolota. Sahedua akono, te Raja nu ndoke noghotie dhi tonga nu pangkuno, noghoti dhua gonti. Ahirino no mate na kolo-kolopua. Sapaira-sapaira tangkanomo.

b. Mite (Mitos) daerah wakatobi
KOBURU KARAMA

Mina I molengo te ammai tomia no piricaya kua ara a fumila ka koburu karama ako amelu te kasalamata ka mo’ori inta amala koburu karama tabea imoina nu juma’a imedani langkea. Ifakutu ndumeu atu, ifakutu mia iekka’a nu tai. Kalentuno ara ihennauka nu tai maka no kente karii te ammai koburu karama anne’e no henna’u no hekente I tai. Jari ara no ekkamo na tai I ammai tunggu nu koburu karama no ekkamo mina mekente ita.
Ara no appamo na tafo te ammai koburu no ratomo ba’anno’e na’atu ikoburu. Ara ikita ako te mo’afa kene ammai ana ika’ane la’amo ta mo’oli maso koburu. Te maso’a uka tabea ta umassalamu’alaikum akodia no tarima ndeungkita. Kalentuno, te ammai tunggu nu koburu atu te isilamu ba’ anno’e. Ara tomasomo ka lalo nu koburu to jaga’e na bitara da’o, bara to hoto isai dao, kene tabea ta kumede ndeung-ndeung, maka to melu ka Moori te kasalamata, te kapooli, te kalalesa, ako te kadeu a nu filanto. Ara to polimo jumoa to fila to posanga ndeung-ndeung, maka to assalmu alaikum ako te tutu nu bitara.
Appa jamani miana te tula – tula mina I mansuana i molengo anne’e ala’a no pake’e te kene I tommia ba’anno’e ara imedani langkea atafa I ekka haji’a. te mempisi nu barakati nu koburu , te kene fumila ilepeno tab ea no tabe arakai bara no sauri goru.



c. Legenda Daerah Wakatobi
DALI WA SUTA

I halo iyai anne kene kalambe tenganno Wa Suta. Wa Suta kene mansuanano nosempa ilentea nolinda mina I Tomia ka Lentea amelalo te kanokau kene kulou. Wa Suta teana mesa. Nosauri sintae na Innano kene Amano nohue tenga’a Wa Suta artino tesinta kene duka nohue te dali gifa ako tebukti nosintae. Inumoina Wa Suta awana kalambe hile nojaga tesapo, nopangalinso, nohenau nohekente. Temansuanano nohete kalalono.
Samea  noto’oha na I Wa Suta nopandemo wila memesano nohekente ara kai nohongampale. Imoina miyai Wa Suta nohenau nohekente itai, temansuano mai nolako kakobo’o. I Wa Suta nomoneamo wumila hekente mou meesano. I wakutu nohennau nohekente te olo’o nopinda milu nggala bisamo telono, tetai nokente appa olo’o. mempisinu sanna nohekente kaimo nosawaoe kua noratomo isisinuliku. Piamo ala’a noruto, nototola napaha kene nohenau namonda meransa sampe kaimo no tosii nara’a. Sampe noekamo natai I Wa Suta anneemo alaa’a tongano olo kaimo nosiinne naintengan ako te waliakoa sampe-sampe no bawaemo te winulu.
Mansuanano mai no maekamo wa’a Wa Suta ana kaiho no waliako appa no polimo na isa. Pooli nowaemo nalibu no mai ako alumahae na Wa Suta itai, inta meaho nohetonga nautu no waliakomo na pande lumolaha. Inta mia temonda kaimo ala’a nohe lawe buntu no tamba no meransa. Kiramo dua moina la’amo nohelawe namonda. Wa Suta annemo ala’a no lahae appa Tomia, te Ina kene Ama Wa Suta nadalae isisi nutoruntu inta kai no awae buntu no sii’i te watu pokana kene dali Wa Suta. Te dali miatu kaane anne tambenu Lentea sampu kua tesambalino anne i Tomia tai nuhuntete no awae te pande laha.  

d. Parabel Daerah Wakatobi
Tula-Tula Nu Waindara kene La Taku

Sapaira-sapaira iso, ane kemoane te ngaano te la Taku. Te La Taku ana popitu nabhelano. Te bhelano taliku tee ngaano Wa Indara. Te La Taku ana te karajano te langke alaa. Sapaira-sapaira iso, nopoghaumo kuabhelano kua “kanae kuwilamo dilankea ana, bhisa ane kusumaleko dihebhaongkoa bata nuhadha. Jari iso te lataku nolangkemo. Yaka molengom nolangke na i La Taku,te Waindara nomaisie tekenenomai. Sa saratono di wunua Waindara, nowaaemo na Waindara kua “oo... Waindara, ako te hebhaongko”. Habuntu nobhaloe te Waindara kua “yaka kuwumila, paranthaeya noangka aku te La Taku. Sambhaeyaka hadhano na Waindara, nopogaumo nakenenomai kua, “ara wanathu Waindara towila ako te hekabue”. Nobhalo kua na waidara, “ara tawumila tamekabue ku humada”. Pasi meaiso, no wilamo hekabuea.
Sapaira-sapaira, noratomo di kabuenga. Te Waindara nowaemo tekenenomai kua “Teikoo Waindara namekabue pedembula”. Sawaakono wanaiso nohadhamo na Waindara. No bue sawali mbeyamo no ngombe leyama, piyamo dibue henduano maka noleyama. Sahentoluno nobue, pasi-pasi nokoto na tali nukabuengano. Sapaira-sapairaa aana, dhi bueno heentoluana noharayi mebuku nobueno, ahirino te Waindara no totempaako dhi olo. Ahirino te Waindara nomangae te kurapu.
Sapaira-sapaira noratomo na La Taku mina dhi langkea. Yaka lengoumpa, norodhongomo tekukuru’u nu kadhola. Te kukuru’u nukadhola ana no nduu kua “kukuruuu... te bhangka La Taku norato te Waindara no mate”. Laamo sawali norodhongo tekukuruu awana iso, te La Taku mheyakaho no hendongoe. Pasi hentolu, norodhongo tekukuru’u wanaidso, no ekamo na i La Taku kua togomai. Saratono dhi togomai, no emamo dhi miya kua “Yaka dhi itae na Waindara?”. Dhi emano wanaiso habuntu nobhaloe kua, “Wila emanakoe dhi ika-ika mayi”.
Sapaira-sapaira iso, te La Taku no wilamo kua aso nuhekabueaa Waindara. Rato dhi iso nobhatatamo kua “Yikomiu toku-tokuku, ara ki mamboe na Waindara kumou komiyu te bulawa”. Te toku-tokuku  mai habuntu nobhaloe kua, “Emanakoe dhi Kurapu mayi”. Sabhalaokono  wanaiso, nu elomo na Lataku kua, “Yikomiyu kura-kurapu mayi, ara ki maombooe na Waindara, kumou kumiyu te bulawa”. Sarodhongono na kurapu tepogau wanaiso, yaka lengoumpa noombomo na Waindara. Pasi iso, te La Taku no huumo te bulawa kua kurapu. Spaira-sapaira tangkanomo.

C. DRAMA DAERAH WAKATOBI
Kenta-Kenta

Punggawa : Habarano inetado talia rupano orang bajo ini.2x, ngapa tena selesai rekomampo merebottai, odato tengkune nuganda ikan bajo hada mengkulili, emarie lembele lante naonggo kasilante, kasilangke unggaleko tamale bidu, o, durumudi susuru dahingko iyai.
Darumdi : Patuku nepalagi nelagi sama-sama belie patu.
Buani : Sabile panjang kosi punggawa. Ee …tobele napa lagi. Tobele namaginda Alamo ganta      purasi  koarda tobele metauri.
Kalobi : Elaktibawa labarani batua lawana napasusa deu angkalima kamabana sianjiku, istana mandar istana mandar istana bugis.
Kalobi : Mana tembela lante nanggae kasilante napori, kasilante walau aku bidu pale bangka ubidu pale bangka ubidu malaikat tuubidu.
Punggawa              : Udatu pepantan nikan daerah tat ningku kukure.
Buani : Marasai koikodi pogigintana akun delu lapermai kulepu.
Punggawa              : Talipapor mau bidu.
Durumudi              : Ilange daoa nukini.
Towole                  : Besi kopandeleleo batange lekanda yori.
Buani                    : Marasai kaokodi pogigi saengko Buani kita selimbalulu paleanan kita ulangi.
Punggawa         : Emania tameale lante nange kosi lante iwaru kasilante, uwala aku bidu pale mongka ubidu. Bose-bose durumudi tale bahaya di daya.
Durmudi             : Ee… Dahoingko sukara anggal tukale busei dasar-dasar goe tal gei-gei sule patu.
Towole                    : Silili mate kabar lia basar.
Durumudi                : Bismillah gani hairu mala huna wei.
Buani                   : Oo…karaeng komolemo ika bidao. Ose… Penggawa kena todo kiba. Ee… kena ki bale.
Punggawa             : Tomala Huna wee.
Kalobi                   : Ose Punggawa kunabu-nabu tetampuru itu indaku bela indaku bole inasu.
Punggawa            : Laying-Layong la ikan di jaring sudah ya sampai la di tepi laut. Jua jawa aduh ya Allah, untung tina wabib wisa ya rabana Haruhim Hamidia.
Kabala                  : Bismillah kupoto ika kapiawate.
Dialog disaat penjualan ikan
Punggawa             : Li ikaa, balu te ika. Balu te ikaa.
Penonton               : Ko ita ika miu.
Durumudi              : Tebalangkuni.
Penonton               : Sapaira hargano ?
Punggawa             : Lima hulu riwu.
Penonton              : Mbeamo na kurano.
Durumudi             : Ki melu pakuramo ! sapaira melu miu
Penonton              : Toluhulu tamo dari ? Ara ihada koala akoe.
Punggawa            : Wanaumpa ?
Durumudi            : Malingu gau miu.
Punggawa            : Ala emo kai, sumano I bayara emo.

Esai:Puisi “SURAT CINTA untuk MAKASSAR” Karya Hendragunawan S. Thyf dalam Kumpulan Puisi Rumah Lebah


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010

Oleh

WA ODE FITRIA
A1 D1 09 027


BAB   I
PENDAHULUAN

A. Sepatah Kata
Puisi memiliki banyak defenisi yang beragam oleh para ahli, namun di dalam keberagaman defenisinya itu jelas memiliki pokok kesamaan yakni berkonsep sebagai karya sastra yang memiliki ragam makna yang luas di  dalamnya. Makna-makna dalam setiap larik-lariknya mengandung unsur sastra yang estetik, yang mampu mengubah jiwa, nalar dan pikiran menjadi suatu kesatuan utuh sebagai bagian dari ekspresi jiwa penyair. Puisi dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengekspresikan seluruh inspirasi yang muncul dari setiap keadaan yang ada, entah itu masalah sosial, politik, budaya, agama, dan  juga lingkungan sekitar.
Keberadaan puisi, telah menjadikan wadah untuk mengekspresikan setiap problema yang ada di muka bumi. Tidak hanya sekarang, namun sejak lahirnya sastra di muka bumi ini, puisi telah memiliki peranan penting sebagai tempat dalam menyalurkan ekspresi-ekspresi dari berbagai bentuk aspek yang terjadi di lingkungan kehidupan kita.
Dalam mencermati puisi, diperlukannya adanya  tingkat konsentrasi yang tinggi untuk menumbuh kembangkan daya pikir agar sampai pada maksut makna yang terkandung didalamnya. Banyak langkah-langkah juga metode dalam proses penganalisisan sebuah puisi. Banyak juga para ahli yang telah membuat konsep-konsep pendekatan maupun teori-teori sebagai dasar dalam menganalisis karya sastra. Di antaranya adalah konsenp-konsep Abrams yang meliputi: pendekatan biografis, pendekatan ekspresif, pendekatan objektif dan masih banyak lagi.
Namun, disini saya mengambil pendekatan objektif sebagai metode dalam menganalisis puisi yang berjudul “Surat Cinta untuk Makassar” oleh: Hendragunawan S. Thyf dalam kumpulan puisi Rumah Lebah.

BAB   II    PEMBAHASAN

I. Puisi




Surat Cinta untuk Makassar

karya: Hendragunawan S. Thayf


masih belum tidur, sayang?
ketika aku berjalan kaki
di sepanjang jalan ahmad yani
yang telah dibongkar trotoarnya
matamu yang nyalang menyorot-nyorot
bagai lampu menara penjara
sementara di wajahmu semut-semut besi berapi
menyayap dan menderum mengepulkan asap dan debu

manisku, siapa nama si walikota
yang telah berani menggunduli habis
pohon-pohon asam dan akasia di kedua alismu?
keisengan atau kebodohankah yang telah meringankan tangannya?
siapa nama si pengusaha
yang dengan bebal meruntuhkan rumah dan gedung belandamu,
menggantinya dengan mall dan gedung
dan bahkan ingin mendirikan asrama di lapanganmu?

aku pergi tidak begitu lama
dan ketika kembali aku terperengah
melihat engkau begitu jauh berubah
ular-ular aspal melilit tubuhmu
mall dan markas orang bersenjata
tumbuh memenuhi dadamu
sementara anak-anakmu
memaparkan pusar mereka
dan memamerkan belahan bokong
bercium di pojok angkutan kota
dan betapa mencekam,
ketika mendadak di sekelilingmu
bermunculan pasar dan plasa
timbul dari lubuk bumi
bagai para siluman raksasa
nongol membelah perut ibunya
lalu tumbuh bagai raksasa tambun
dengan perut buncit dan punggung membungkuk
yang bangun terhunyung-hunyung
sembari meraung minta makanan
dan para liliput mengalir
datang dari setiap sudut-sudut kota
memasuki mulut mereka yang menganga lebar
dan menebarkan bau aneh

aih, aih, aih, sedihnya sayang,
keningmu berkerut-merut
dan matamu keruh berkabut
jadi engkau juga harus ikut menjual diri
demi dolar dan rupiah
demi catatan prestasi pejabat
menggaet dana investasi
demi komisi dan promosi
demi masa jabatan kedua kali
sementara aku justru merasa
lebih aman dan nyaman
dengan kesederhanaan yang dulu?

lihatlah, aku berjalan kaki di ahmad yani
dengan perasaan takut serta asing
setelah daeng-daeng becak –
yang dulu mangkal d sini
sembari minum jerigen ballo dan main domino
telah digusur pergi
jalananmu ini bukan untukku lagi
percintaan kita telah jadi mimpi
sejak trotoarmu dicungkil pepohonanmu dicukur
jalan-jalan lama diperlebar dan jalan-jalan baru dibuka
sementara pejalan kaki dibiarkan
dicincang tajam panas mentari
dilumuri debu dan polutan
diintai sambaran maut dari semut-semut besi berapi
yang melaju angkuh dan perkasa

masih belum tidur, sayang?
beberapa butir penenang yang mesti kau tenggak lagi
sebelum cemas dan gegasmu dapat reda dalam alun tidur
tatapanmu kian jauh dan tak acuh
seperti papan-papan iklan
yang megah tinggi tak tersentuh
mengangkangi si gila yang tersedu-sedu
duduk mencakung di bawahnya
kau mungkin bahkan tak peduli
bahwa aku telah kembali dan kehilangan kamu

aku menangis,
manisku

(2002/03)


II. Analisis Puisi

Puisi di atas, oleh Hendragunawan S. Thayf yang berjudul “Surat Cinta untuk Makassar” mengulas kisah tentang sebuah negeri yang dulunya subur akan segala kekahasan yang ada di dalamnya kini berubah menjadi suatu negeri yang dibangun dengan kemodernannya namun tidak seindah dulu. Adapun pendekatan yang dapat saya ambil untuk menganalisis puisi di atas adalah dengan mengunakan pendekatan objektif, dimana pemahaman akan proses penganalisisan terpusat pada karya sastra itu sendiri dengan memperhatikan unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra tersebut.
Puisi “Surat Cinta untuk Makassar” memiliki delapan buah standza yang masing-masing dari standza tersebut memiliki beberapa larik di dalamnya. Pada standza pertama larik pertama penyair melukiskan tentang seseorang yang kini sedang dalam perenungan terhadap  kota tercintanya yang kini telah memiliki banyak perubahan, dan perubahan itu tidak sama sekali menambah kecintaannya terhadap kotanya. Kota yang tak berapa lama  ketika dia tinggalkan, dan ketika kembali, dia seakan-akan tak menemukan kejatidirian dari kotanya itu, yang dia tinggalkan seperti sebelumnya. Pada larik pertama yakni masih belum tidur, sayang?/, larik yang mengandung makna bahwa penyair menggambarkan seseorang yang belum dapat tidur karena masih membayangkan perubahan yang terjadi seperti apa yang dia lihat kini. Pembayangan yang membuat sang penyair melekatkan kalimat bahwa dia belum bisa lelap dengan apa yang terjadi dengan kotanya yakni dengan kata sayang yang penyair gambarkan dalam larik pertama.
Pada larik kedua yang masih dalam standza pertama yaitu, ketika aku berjalan kaki/ disepanjang jalan ahmad yani/ yang telah dibongkar trotoarnya/ matamu yang nyalang menyorot-nyorot/ bagai lampu menara penjara. Disinilah penyair mulai melukiskan adanya perubahan yang terjadi dengan kotanya, bahwa ketika dia berjalan-jalan melihat-lihat kembali keadaan yang ada di sepanjang jalan ahmad yani, yang kini telah dibongkar trotoarnya, yang mungkin dulu di tumbuhi dengan beberapa pepohonan. Namun trotoar itu tak ada lagi, juga pepohonan-pepohonan, yang mungkin saat itu menjadi kesejukan. Tapi, kini semua itu tak ada lagi dan yang dia temukan hanyalah nyalanya matahari yang terangnya laksana lampu menara penjara.
Sementara di wajahmu semut-semut besi berapi/ merayap dan menderum mengepulkan asap dan debu. Seperti itu kiranya Hendragunawan S. Thayf  mengekspresikan nalarnya pada larik-larik terakhir standza pertama yang memberikan makna bahwa ketika disana tak ada lagi kesejukan, maka kendaraan-kendaraan yang digambarkan penyair sebagai semut-semut besi itu berjalan dan melaju menciptakan asap-asap dan debu-debu polusi yang berterbangan dimana-mana.
Pada standza kedua yang larik-lariknya: manisku, siapa nama walikota/ yang berani menggunduli habis/ pohon-pohon asam dan akasia di kedua alismu?/ keisengan atau kebodohankah yang telah meringankan tangannya/,  dalam standza kedua ini Penyair menggambarkan kecintaannya terhadapa kotanya hingga selalu disebutnya  dengan kata manisku juga sayang (pada standza pertama larik pertama).  Penyair hendak menyajikan pertanyaan kalau-kalau siapakah gerangan nama sang wali dari kotanya yang telah berani membabat habis pohon-pohon yang melahirkan kesejukan dan ketenangan di wajah kotanya itu, entah hanya suatu keisengan atau memang ketidak pahaman mereka, sehingga menjadikan tangan-tangan mereka mau untuk melakukan pengrusakan terhadap kotanya itu.
Begitu juga dengan para pengusaha-pengusaha yang mungkin tak memiliki hati juga perasaan dan kurangnya ketidak pahamannya sehingga dengan mengandalkan materi yang mereka miliki, mereka dapat melakukan semua tanpa berpikir panjang terhadap dampak buruk yang akan dialaminya nanti juga orang lain disekitarnya. Pengusaha-pengusaha itu telah menggantikan rumah-rumah mereka yang dulu dengan gedung-gedung mewah yang menjadikan kenyamanan buat mereka tapi tidak untuk yang lain, yang juga memiliki hak yang sama pada kota tercintanya itu (Makassar). Seperti pada larik yang terakhir : siapa nama si pengusaha/ yang dengan bebal meruntuhkan rumah dan gedung belandamu,/ menggantinya dengan mall dan gedung/ dan bahkan ingin mendirikan asrama di lapanganmu?/.
Di dalam standza ke tiga, penyair menggambarkan bahwa kepergiannya yang tidak begitu lama sungguh memiliki perubahan yang jauh berbeda. Telah banyak ia temukan  perubahan yang terjadi, jalanan yang semakin melebar juga memanjang, tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan juga gedung-gedung yang berjejeran sepanjang kotanya. Seperti pada lariknya yaitu: aku pergi tidak begitu lama/ dan ketika kembali aku terperangah/ melihat engkau begitu jauh berubah/ ular-ular aspal melilit tubuhmu/ mall dan markas orang bersenjata/ tumbuh memenuhi dadamu. Kata Engkau pada larik diatas menunju pada sang kota yang telah memiliki perubahan drastis.  Sementara dalam gedung-gedung perbelanjaan tersebut banyak anak-anak yang seenaknya menjadikannya sebagai tempat mengumbarkan hawa nafsunya juga bercinta disana dipojok-pojokan juga angkutan kota. Yakni pada larik: sementara anak-anakmu/ memaparkan pusar mereka/ dan memamerkan belahan bokong/ bercium di pojok angkutan kota. Anak-anakmu pada larik di atas mengandung maksut akan anak-anak para pengusaha-pengusaha juga mereka-mereka yang telah dengan senang hati membangun perubahan itu.
Sementara pada standza keempatnya, Hendragunawan S. Thayf menggambarkan adanya sesuatu kejanggalan yang mencekami dirinya ketika dipandangi disekelilingnya telah bermunculnya pasar-pasar juga plasa. Dia merasakan semua itu bagaikan siluman dan raksasa yang bangkit dan menjelma hendak menjadikan keterburukan bagi kedamaian kotanya. Diceritrakan dalam larik sajaknya yakni: dan betapa mencekam,/ketika mendadak di sekelilingku/ bermunculan pasar dan plasa/ timbul dari lubuk bumi/ bagai para siluman raksasa/ nongol membelah perut ibunya/ lalu tumbuh bagai raksasa tambun/ dengan perut buncit dan punggung membungkuk/ yang bangun terhunyung-hunyung/ sembari meraung minta makanan/.
Kemudian penggambaran selanjutnya yakni ketika dengan dengan berdirinya berjenis-jenis bangunan di wajah-wajah kotanya itu, akan dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan mereka. Gambaran sajaknya yakni:  dan para liliput mengalir /  datang dari setiap sudut-sudut kota/ memasuki mulut mereka yang menganga lebar/ dan menebarkan bau aneh/.  Memiliki maksut bahwa nantinya akan datang bencana yang melanda mereka dengan menjadikan virus dan  menjadikan ketidak nyamanan terhadapa mereka sendiri.
Dalam standza-standza berikutnya tergambarkan oleh penyair tentang adanya segurat-dua gurat kesedihan yang mendalam akan kesayangannya terhadap kota tercintanya yang kini telah mengalami masa peralihan yang mengukir kesedihan dihati-hati pencintanya.
Tanah-tanah indah nan subur yang tertanam pepohonan membuahkan kesejukan, kedamaian, juga kesejahteraan kian hilang diterpa tangan-tangan para pejabat-pejabat, yang hanya untuk mengharumkan namanya semata. Menginginkan ketinggian jabatan yang menuntut pada komisi-komisi serta dana yang mengiurkan mereka. Namun, tanpa disadari ada sebagian mereka-mereka yang menginginkan kesederhanaan saja, merindukan sosok kesejukan dulu yang pernah ada. Mereka merasa lebih nyaman dan juga aman dengan suasana kesahajaan dulu yang penuh dengan kehangatan. Tergambarkan dengan syairnya dalam larik pada standza kelima: demi catatan prestasi pejabat/ menggaet dana investasi / demi komisi dan promosi/ demi masa jabatan kedua kali/ sementara aku justru merasa/ lebih aman dan nyaman/ dengan kesederhanaan yang dulu? /.
Setelah perubahan yang terjadi begitu melenceng jauh dari ingatannya, sang penyair menguak kembali memento-memento dulu yang pernah ia telusuri. Keadaan yang begitu terang di hadapannya menjadikan buyar bagai lamunan. Semuanya telah tergusur hingga pangkalan becakpun kepunyaan daeng-daeng itu terhempaskan oleh para penguasa-penguasa itu. Kini yang dpenyair lukiskan dalam dalam syairnya : jalananmu ini bukan untukku lagi/ percintaan kita telah jadi mimpi/ sejak trotoarmu dicungkil pepohonanmu dicukur/ jalan-jalan lama diperlebar dan jalan-jalan baru dibuka/ sementara pejalan kaki dibiarkan/ dicincang tajam panas mentari/ dilumuri debu dan polutan/ diintai sambaran maut dari semut-semut besi berapi/ yang melaju angkuh dan perkasa/. Memiliki makna bahwa kini jalanan kotanya bukan lagi untuknya, setelah semua trotoar, juga pepohonan dicungkil dan dicukur habis, dan dia biarkan semuanya yang dulu cukup  menjadi kenangan dan mimpi sesaat untuknya. Semua kenangan indah itu terhempas, yang ada kini hanyalah segumpal kegerahan akan udara yang mulai meraung-raung, jalanan makin melebar saja hingga menjadikan sang pejalan kaki di sana terperaajam oleh sengatan panasnya mentari ditambah juga dengan segumpal polusi-polusoi yang diciptakan kendaraan-kendaraan yang dengan angkuhnya melaju tanpa pikirnya.
Pada standza ketujuh, penyair masih memberikan penggambaran akan segudang perenungan yang masih saja ada. Dengan konteks masih belum tidur, sayang?/, pada larik pertamanya. penyair mencitrakan ketidak bisaannya untuk terlelap dalam merenungi keterjadian perubahan terhadap kotanya tersebut. Masih saja ada cemas yang mendalam di dirinya, namun kecemasan itu dapat reda apabila lelap dalam tidur, yang di ibaratkan dengan papan-papan iklan yang takan tersentuh karena tinggi juga megah. Mungkin hanya ada si gila yang tak enggan untuk bersandar dibawah papan-papannya itu, penyair menkisahkan bahwa : kau mungkin bahkan tak peduli/ bahwa aku telah kembali/ dan kehilanagn kamu, adanya ketidak pedulian yang penyair gambarkan sebagai kau, yang mungkin kata kau disini adalah kotanya. Kota yang tak mau perduli dengan kedatangannya karena perlahan memang dia tak lagi temukan dia bahkan telah kehilangannya.
Standza terakhir yang memiliki larik : aku menangis,/ manisku/, mengandung ulasan kisah kesedihan yang mendalam yang penyair gambarkan akan seseorang yang telah kehilangn sesuatu yang dicintanya, menginginkan pengembaliannya namun itu tak mungkin.


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari proses pengkajian puisi di atas yang berjudul ”Surat Cinta untuk Makassar” adalah bentuk-bentuk imaji yang dikembangkan sang penyair terhadap keadaan dunia dengan realita kehidupan yang ada sekarang. Hendragunawan S. Thayf  sebagai sang penyair puisi di atas menguak kisah kesedihan dan kerinduan akan suatu kecintaan seseorang  terhadap kotanya yang dulu penuh dengan bentuk kesahajaan, kedamaian, juga kesejukan.
Namun, kini tak lagi dia temukan, karena telah banyak para hartawan, pejabat dan juga pengusaha-pengusaha yang menyulapnya menjadi tempat-tempat yang baru dengan suasana yang baru juga, namun tak memiliki arti dan nilai plus untuknya. Sang penyair membuka gambaran terhadap rasa sukanya, ketika larik-larik sajaknya itu yang terlukiskan bahwa dia lebih suka kesederhanaan yang dulu di alaminya, di bandingkan dengan sekarang yang memiliki perubahan namun hanya mendatangkan ketidak damaian terhadap dirinya juga yang lainnya.
Larik-larik yang di ulasnya dengan kehalusan bahasa puisinya, menggambarkan sosok penyair yang memiliki potensi yang luar biasa terhadap kemajuan sastra Indonesia sekarang.

Esai:Puisi “REALITA SOSIAL” Karya Bode Riswandi dalam Kumpulan Puisinya Mendaki Kantung Matamu


WA ODE FITRIA
A1 D1 09 027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010



BAB I    PENDAHULUAN

I. Kata Pengantar
Dalam perkembangan sastra Indonesia yang semakin meluas, banyak ditemukan sastrawan-sastrawan baru yang memiliki jiwa seni yang sangat tinggi. Sastrawan-sastrawan baru ini, memiliki tingkat kemampuan sastra yang sangat esensial dan sangat berhubungan juga berkaitan erat dengan kondisi serta keadaan yang terjadi sekarang di dunia.
Banyak karya-karya sastra yang bersudut pandangkan tentang realita sosial, seperti sastrawan Habiburahman L. Shirazi yang karya-karyanya menyentuh penikmat karena memiliki tingkat kepenalaran yang tinggi, menggugah keadaan yang banyak terjadi sekarang. Sang penyair ini, menjadi penerus-penerus sastrawan kita yang telah kembali yang Salah satunya juga sastrawan Bode Riswandi yang memiliki tingkatan imaji-maji serta ide-ide yang luas yang karya-karyanya berawal dari pengalaman keadaan dirinya. Bode Riswandi ini, bukan hanya memiliki teknik penguasaan bersastra, namun sang penyair ini menunjukan karyanya kepada suatu yang labih esensial, lebih kompherensif, sehingga menumbuhkan nilai estetika yang sangat kental untuk dikaji  lebih dalam.
Disini saya mengambil salah satu karya dari Bode Risawandi tentang “Realita Sosial” dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Mendaki Kantung Matamu untuk dikaji lebih dalam. Saya memiliki ketertarikan  dengan puisinya ini, karena sang penyair  mengulas  tentang keadaan sisoal yang telah membumi dengan segala aspek dan sudut pandang  yang penyair lukiskan dalam puisinya tersebut.

BAB II   PEMBAHASAN
I. Puisi

Bode Riswandi
Realita Sosial

1/
“Ini realita sosial” katanya. Ketika tapak kaki lima
dan pasar tradisional disulap jadi plaza dan mall-mall.
meski cinta kita punya sejarah dengan salah satu plaza
tak baik kita lupakan lapak terbuka juga kios kaki lima
yang sesak dengan foto anggota dewan dan merk jamu
kuat itu. “dari senyumannya yang dipaksakan kelak mereka
akan lebih buas ketimbang pamong praja yang ketagihan
merobohkan lapak terbuka dan kios kaki lima” ucapmu.

Aku tersentak, kalimat it pantas di ucapkan demonstran
atau aktifis LSM, ketimbang keluar mulus dari bibirmu
yang mirip pisau serut itu. “Bersama penyair, aku lebih
berani berkata-kata” ucapmu. Padahal dengan kekasihmu
yang polisi itu kau ajarkan disiplin dalam berkata.

2/
Apa pentingnya konak politik bagimu?
hingga rela melupakan gairah kesusasteraan yang kau pendam
sejak SMA. Apa karena sering terluka gara-gara terperosok
di perempatan yang itu-itu juga, gara-gara foto lugu mereka
menutupinya? Aku cemburu. Tapi bukan karena foto-foto
mereka yang lugu. Sebagai penyair aku takut kesumatmu
benar-benar menjauhkan dirimu dari gairah kesusasteraan.

3/
“Ini realita sosial” katanya. Ketika masjid, pesantren, gereja
dan kelenteng jadi terminal. Di mana bis umum dan pariwisata
antre berebut muatan. Di seberang kamar kontrakan aku rajin
menantimu keluar khusuk dari mesjid yang bertahun-tahun
menjadi lading memanen ilmu. Kenyataannya, kau dan aku
rela meninggalkan kamar kontrakan itu rela meninggalkan
mesjid itu setelah mereka curi kenangan kita terang-terangan.

Seribu partai, seribu tipu muslihat, seribu kekecewaan
tidak membuat kita jadi dewasa. Selain geli mencermati tingkah
mereka yang fotonya bersanding dengan merk jamu kuat itu
jadi kiai tiba-tiba, atau sekadar menghadiahi perabot rebana.
Biar dikata dekat dengan ulama, biar dikata calon pemimpin
yang taat beragama.

4/
“Ini realita sosial” katanya. Ketika orang-orang kampong
disatroni tipu daya. Ketika sekolah umum, dan madrasah
yang sebagian pengajarnya guru-guru honorer, rajin mejeng
dikantor-kantor partai jadi tim sukses honorer juga.
Sebab gaji tim sukses honorer, lebih gede ketimbang gaji
Sebulan di sekolahan, katanya.

Banyak partai, banyak yang menyalonkan dewan dan presiden.
Mereka masuk keluar salon, mewarnai rambut merapikan kumis
mengendarai mobil masuk kampung. sensus mesjid, pesantren,
gereja dan kelenteng. Mendata warga yang penyakitan mata
biar tidak salah pilih partai dan foto mereka.

2009




II. Analisis puisi

Puisi oleh Bode Riswandi yang berjudul “Realita Sosial” di atas, menceritakan tentang permasalahan sosial yang terjadi di negeri ini. Penyair mengangkat judul ini, mungkin karena dia melihat banyak dampak buruk yang telah terjadi di kehidupan nyata kekinian. Dengan adanya politikus-politikus juga munculnya berbagai partai politik di negeri ini, menjadikan warna baru terhadap tingkat berfikir dan perilaku yang sudah tidak lagi rasional. Menciptakan hal-hal baru yang  menjadi perseteruan, dalam menjalankan misi sebagai pemegang Negara namun tak di landasi dengan keyakinan dalam hati serta ketulus ikhlasan.
Hendragunawan S. Thayf melukiskan puisinya kedalam bentuk empat bagian, yang di dalam masing-masing bagian tersebut terdiri atas beberapa standza dan setiap standzanya memiliki beberapa larik pula.
Pada bagian ke-satu, terdapat dua standza didalamnya.  Standza pertama, dalam larik-lariknya penyair mengungkap  tentang keadaan sosial yang tertampak dalam keadaan nyata kini. Terlihat pada lariknya yakni: “Ini realita sosial” katanya. Ketika tapak kaki lima/ dan pasar tradisional disulap jadi plaza dan mall-mall/. Penyair menggambarkan keadaan sosial sekarang telah  berubah dengan dibangunnya mall-mall juga plaza yang dulu tak ada semua itu. Ini realita sosial, katanya. Larik pertama itu menggambarkan sosok kata-kata para politik-politikus yang hendak memaparkan suguhan-suguhan terhadap telinga-telinga rakyatnya, dengan mengharapkan sebuah kepemimpinan nantinya.
Penyair menggambarkan bahwa meski di dalam menciptakan suasana yang baru meskilah kita tak harus melupakan hingga menghilangkan dari mereka-mereka yang memiliki tingkatan rendah yang hidup dengan mengandalkan kios-kios kecil sebagai mata pencaharian mereka. Meskipun plaza-plaza itu menandakan adanya perubahan yang baik mungkin, namun tak juga pasti memberikan kebaikan bagi yang lainnya juga. Sebagian besar para politik-politikus hanya dapat mengumbar janji tanpa bukti nyata dari realisasiannya terhadapa para rakyat. Terlihat pada kutipan larik terakhir yakni: “dari senyumannya yang dipaksakan kelak mereka/ akan lebih buas ketimbang pamong praja yang ketagihan/ merobohkan lapak terbuka dan kios kaki lima” ucapmu./  dari kutipan larik tersebut dapat di tarik makna bahwa, banyak ketika mereka yang saling ingin merebut posisi di masing-masing jabatan tinggi Negara, mengumbar senyum kepalsuan, senyum-senyum yang terpaksa di sunggingkan di wajah-wajah mereka yang sebenarnya  akan lebih kejam dari mereka pamong praja yang melenyapkan kios-kios sang pedagang kaki lima tersebut. Itu salah satu bentuk keterbukaan penyair akan suara-suara rakyat yang ingin tersampaikan kepada para mereka sang penuntut kekuasaan.
Dalam standza ke dua, imaji yang penyair gambarkan berhubuangan erat dengan larik terakhir kutipan standza pertama bahwa kutipan syair itu lebih pantas jika di ucapkan sang demonstran atau pula aktifis-aktifis sebagai subjek  dalam menyuarakan suara rakyat. Ketimbang di ucapkan mulus dari bibir-bibir para politik, tapi sebenarnya akan lebih tajam mirip pisau yang akan mengiris mereka. Sementra mereka para politikus, telah dini di ajarkan cara juga metode yang layak mereka kemukakan. Namun, metode-metode itu tak mereka lahirkan sebagai cara terbaik dalam menjalankan misi dan visi mereka, yakni dalam penggalan syair:. . . .“Bersama penyair, aku lebih/ berani berkata-kata” ucapmu. Padahal dengan kekasihmu/ yang polisi itu kau ajarkan disiplin dalam berkata./ larik-larik tersebut, terukir bahwa telah terajarkan kepada mereka sebelumnya akan cara-cara kedisiplinan dalam bertindak maupun berbicara ketika mengambil langkah ataupun keputusan.
Pada bagian kedua puisi ini, penyair hanya menciptakan satu standza di dalamnya dengan beberapa lariknya. Dalam kajian ini,  penyair menguak  suatu konsep  fungsi yang telah di lakukan para politikus itu, memandang seperti apa paran penting gagasan politik baginya. Yang kemudian harus di jalani dengan sempurnah. Penyair menggambarkan bahwa lupakah kamu dengan berbagai aspek sastra yang terpendam sejak dulu itu?, apakah tatanan nilai-nilai rasa yang yang tertanam dalam dirinya hilang begitu saja?. Seperti pada barisan lariknya: Apa pentingnya konak politik bagimu?/ hingga rela melupakan gairah kesusasteraan yang kau pendam/ sejak SMA. . . .
Telah dimunculkan bentuk pertanyaan seperti itu oleh sang penyair, menginginkan suatu kepenanggung jawaban atas wadah yang di pilihnya para politikus itu. kemudian, penyair mengulas kembali apakah ketidak tanggung jawabanya terhadap visi yang di embannya juga karena pernahnya terjatuh dalam keadaan yang sama sebelumnya. Dimana faktor penyebabnya adalah apakah karena foto-foto lugu itu yang menjadi topeng dari wajah-wajah politikus itu?. Penyair melukiskan suatu rasa kecemburuan dalam diri, ada segurat keraguan yang mendalam teruntuk para politik-politik itu yang apakah nanti akan semakin menjauh saja nilai-nilai rasa cinta dan kepedulian  akan negerinya.
Kemudian, pada bagian ke tiga dari puisi ini, standza pertamanya mecitrakan tentang suatu perubahan yang di alami dari makna realita sosial disini, kenyataan bagaimankah yang di gambarkan sang penyair. Perubahan yang dilakukan terhadap mesjid, gereja, juga kelenteng yang telah disulapnya jadi terminal-terminal yang diperebutkan angkutan umum dalam memungut muatan yang berjejeran. Sementra wahana-wahana itu dimana masjid, gereja juga kelenteng tersebut dulu adalah tempat menimba ilmu. Tempat memanen  kepingan-kepingan pengetahuan, dan kini kenyataan yang terjadi tempat tersebut hanya kenangan yang dulu terang kini suram. Seperti yang digambagkan pada sajak dalam setiap larik-lariknya yakni: /“Ini realita sosial” katanya. Ketika masjid, pesantren, gereja/ dan kelenteng jadi terminal. Di mana bis umum dan pariwisata/ antre berebut muatan. Di seberang kamar kontrakan aku rajin/ menantimu keluar khusuk dari mesjid yang bertahun-tahun/ menjadi lading memanen ilmu. Kenyataannya, kau dan aku/ rela meninggalkan kamar kontrakan itu rela meninggalkan/ mesjid itu setelah mereka curi kenangan kita terang-terangan./  larik-larik itu melahirkan kontradiksi yang kuat, dimana dari sebagian tempat-tempat memetik ilmu di curi  dan diubahnya oleh para politik itu menjadi keterburukan yang muncul tanpa disadari.
Pada standza ke dua dalam bagian ketiga puisi, Bode sebagai sang penyair puisi ini menguak rahasia-rahasia kecil dimana telah diutarakan sajaknya bahwa: /Seribu partai, seribu tipu muslihat, seribu kekecewaan/ tidak membuat kita jadi dewasa. Bahwa dalam larik-larik sajaknya itu dikemukakannya kemunculnya beragam partai namun,  hanya hadir sebagai tipu daya terhadapa kita yang semestinya kita pahami sebagai pengkhianatan, ketidak kompherensifannya, yang seharusnya membuat kita lebih dewasa lagi dalam menyikapinya. Penggambaran sang penyair bahwa dia seakan merasa geli dalam mencermati tingkah-tingkah para politikus yang bersangding dengan wajah-wajah palsu yang hendak mencuri perhatian di kalangan kita. Bahkan penyair mencitrakan bahwa tiba-tiba telah berubahnya penampilan yang hendak menjadi kiai dengan menyogokan berbagai perabot rebana, agar dapat dikatai sebagai calon kepemimpinan yang taat beragama. Sementara itu hanya kulit luar yang menjadi topeng sebagai senjata memperoleh kepemimpinan.
Gambaran yang sama pada bagian ke empat pada puisi ini, yang ada dua standza di dalamnya, menguak kisah yang sama tentang tipu muslihat para politikus terhadap  teknik meraih kepemimpinan. Dimana dalam standza pertama pada bagian ke empat ini, terarah pada sudut baru yakni, pada kampung-kampung, sekolahan, hingga madrasah juga para guru honorernya. Mengandalkan ketidak mampuan mereka, kelemahan yang mereka miliki. Datang dengan raut wajah yang bersahaja, sikap yang berwibawa, menceramahi dengan berbagai aspek visi dan misi bentuk pembangunan. Namun, alhasil semua yang di janjikan tinggal janji tak memiliki bukti yang nyata dengan sikap yang ditunjukan sebelumnya. Disana tergambar banyak yang ikut menjadi tim sukses dalam calonan dewan juga presiden, yang hanya karena gaji yang kurang cukup, maka menjatuhkan pilihan untuk ikut mensukseskan tim-tim yang dibentuk hanya untuk menerima honor yang sedikit banyak dari para calon itu.
Inikah wajah realitas sosial yang terjadi di bumi pertiwi ini, yang telah di diulas penyair Bode Riswandi dalam karyanya “Realitas Sosial” sangat mendalam.
Banyak calon para dewan dan presiden yang menggantungi partai masing-masing menuntut diberikan kursi kepemimpinan yang tak didasari dengan pemahaman yang cukup terarah.







BAB  III         PENUTUP

I. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat saya petik dari proses pengkajian puisi diatas oleh Bode Riswandi dengan judul “Realita Sosial” adalah puisi yang menggambarkan tentang keadaan sosial yang terjadi sekarang. Penyair disini yakni Bode Riswandi mengangkat judul seperti ini, mungkin dia melihat adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di Negeri ini. Dengan adanya politik yang lahir di Negeri ini, membuat para penganutnya yakni politikus tidak menjalankannya dengan sempurnah, malah melenceng dari apa yang mereka jadikan visi. Bode mengungkap rahasia-rahasia yang menjadi kendala terhadap kesatuan bangsa ini. Dalam puisi ini juga, penyair mengulas tentang kritik sosial terhadap bangsa ini, yang tidak lagi kompherensif terhadap keadaan yang terjadi sekarang.
Dalam puisinya penyair menginginkan adanya persatuan yang menyeluruh terhadap kesejahteraan bangsa ini. Menginginkan persatuan dan kesatuan yang utuh tanpa adanya kemunafikan-kemunafikan yang di lakukan oleh orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.
Seorang sastrawan yang memiliki jiwa kepenyairan yang tinggi membuat Indonesia menemukan kembali sastrawan-sastrawan baru untuk kemajuan sastra Indonesia kedepannya.

Jumat, 25 Mei 2012

Featute berita, Peran Universitas dan Kerja Sama Mahasiswa : Menetaskan Wisudawan Berkualitas, Memusnahkan Pengangguran


Oleh: Wa Ode Fitria (A1D1 09 027)

           Sabtu pagi di akhir bulan April itu, hujan lumayan deras, turun, dan membasahi bumi kota Kendari. Namun, tetes-tetes hujan tersebut turut menjadi saksi bisu, terlaksananya peristiwa penting di Auditorium Mokodompit Unhalu. Salah satu peristiwa penting bagi mereka-mereka yang telah lumayan lama menungguinya. Bahkan, meskipun hujan turun dengan derasnya, sama sekali tak dapat menggagalkan acara yang saat itu sedang berlangsung. Peristiwa tersebut dikenal dengan pesta besar dunia kampus. Khusus dilaksanakan untuk melantik sekaligus melepas mahasiswa-mahasiswa yang dikategorikan telah mampu menyelesaikan semua program perkuliahannya.
         Sebenarnya simpel, kita lebih mengenalnya dengan prosesi wisuda. Proses pelantikan dengan situasi khidmat terhadap mahasiswa-mahasiswi yang berhasil menyelesaikan studynya. Tepatnya, 30 April 2011 di Auditorium Mokodompit Unhalu dengan peserta mencapai 870-an, prosesi wisudaan tersebut dilaksanakan kembali, setelah dilaksanakan akhir Januari lalu. Setiap tahunnya, kurang lebih 3 kali diadakannya wisuda bagi mahasiswa-mahasiswa yang memang masuk nominasi ‘pantas’ untuk segera keluar dari kampus Unhalu, tentunya dengan menggenggam predikat mereka masing-masing.
            Kategori yang masuk dalam nominasi ‘pantas keluar’ adalah mahasiswa-mahasiswa yang memang telah menyelesaikan program perkuliahannya. Ditempuh dengan waktu 2,5 tahun hingga 3 tahun untuk program D-III, 3,5 tahun hingga 4 tahun untuk program S1, dan 2 tahun bagi program S2. Dimulai dari wisudawan terbaik atau cumlaud hingga kepada yang bukan cumlaud.
            Pada tahun ini, Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS, selaku rektor Universitas Haluoleo, akan memberlakukan wisuda empat kali setahun demi meminimalisir jumlah wisudawan yang selalu membludak bahkan di atas 1000 peserta. Tidak ada unsur apapun berkaitan dengan pemberlakuan empat kali wisuda dalam setahun tersebut. Tujuannya sederhana, yakni agar wisudawan benar-benar merasakan prosesi khidmat saat pelantikan.
            Entah bagaimana caranya menggambarkan perasaan, mimik wajah, dan rona merah di hati mereka masing-masing, yang kini telah berhasil lolos dari kejaran berbagai program perkuliahan. Semuanya di awali dengan berbagai kisah menjadi kasih di setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan hingga bertahun-tahun dijalaninya. Dilalui dengan berbagai rasa letih ketika bersusah-susah dalam perkuliahan,  mengurus ini dan itu, hingga berhasil memetik kebahagiaan. Ditemani kebersamaan meskipun akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri. Yah! Jalan yang menuntun mereka menyelesaikan studynya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
             “Kita kan, masuk sama-sama, keluarnya juga harus sama-sama to?!” tutur Iis pend.bahasa/2010.
Kata-kata yang menyimpan makna yang cukup dalam. Meskipun kini, hanya ada beberapa dari mereka yang bersama-sama masuk dan kemudian keluar pula bersama-sama. Hal tersebut tidak perlu menjadi sebuah kontroversi bagi masing-masing persepsi. Karena, format otak kita pun telah memahami kalimat tersebut bahwa : kita adalah berbeda-beda dengan  kemampuan yang berbeda-beda pula. Dan pernyataan Iis tersebut, meskipun gagal dalam kenyataan, setidaknya dapat menjadi sebuah spirit yang harus mampu memupuk kekuatan dalam diri setiap mahasiswa untuk mempercepat setiap langkahnya dalam memenempuh studynya.
            Saat ini, tentulah di dada masing-masing mereka, terbesitkan rasa syukur dan bangga, dengan keberhasilan awal yang kini telah mereka capai selangkah lebih tinggi. Pasti, rasa tanda terima kasih tulus pun mereka ucapkan, bagi siapa saja yang menjadi bagian dari sejarah perjalanannya. Bagi kedua orang tua mereka, prestasi ini merupakan kado kebahagiaan yang turut pula menjadi impian mereka. Rona merah di pipi mereka, selalu menghiasi setiap langkah kakinya, karena telah berhasil melewati satu tanjakan kerikil yang sesekali agak tajam mewarnai setiap pergerakan mereka. Tidak ketinggalan pula ‘pewe’ alias pendamping wisuda, yang tak mau kalah membuat suasana pesta semakin hanyut terbawa arus haru yang didramatisir sedemikian rupa.
              Sebuah hal yang tidak dapat disangkal bahwa, bahkan air mata pun menjadi bagian terpenting yang turut hadir meramaikan riuh rendah pesta besar dunia kampus tersebut. Hal yang memang menjadi tradisi setiap saat pesta  besar kampus dilangsungkan. Hingga,  perlu disadari bahwa air mata mengambil dua sisi peran yang begitu penting. Air mata mengambil peran sebagai simbol rona bahagia di dada mereka, karena telah menyelesaikan salah satu step dalam peta perjalanan hidupnya.
             Namun, sisi lain hadir menguak paradigma yang kini telah menjadi status kacangan bagi setiap orang. Paradigma yang sangat-sangat disayangkan yakni  ‘wisudawan mencetak pengangguran’. Tentu pernyataan tersebut sudah sangat lumrah meramaikan pendengaran kita.
             Paradigma tersebutlah yang kini hadir menjadi dogma bagi setiap wisudawan dan akhirnya ada yang benar-benar banting setir menjadi pengangguran. Apa yang dapat kita lakukan jika paradigma tersebut datang menghipnotis dan telah mendogma bagi beberapa wisudawan. Tentu hal tersebut akan mengikuti setiap gerak dan langkah, mengotori pikiran dan perasaan mereka, yang kemudian hadir menjadi cemohan.
              “pengangguran bukan langkah selanjutnya yang selalu ditempuh sarjanawan, ada langkah yang lebih dari pada berharga untuk bisa mewujudkan cita-cita. Meskipun memang langkah itu akan terasa lebih tajam dan bergerigi lagi dari sebelumnya. Dan sekali lagi jangan pernah kita kotori pemikiran kita dengan pernyataan bahwa wisuda hanya mencetak pengangguran. Banyak juga kok yang telah berhasil. Lihat saja rektor kita, alumnus Unhalu dan kini beliau berhasil. Bukankah itu bukti yang sangat nyata dan sebenarnya, seorang sarjana yang menjadi pengangguran, diakibatkan karena faktor malas dan tak ingin melanjutkan perjuangannya. Kalau dia berjuang dia pasti bisa kok. ” Bantah Wiwi (wisudawan FISIP 2010)
             Saat ini, hal yang berkaitan dengan pengangguran, harus kita blokir jauh dari dalam wadah pemikiran kita. Seharusnya kita perlu memberikan penghargaan bagi keberhasilan yang telah dicetak. Setidaknya, dapat menjadi semangat untuk kembali melanjutkan perjalanan kita. Melanjutkan perjalanan kita menggapai cita-cita. Pengangguran bukanlah step lanjutan yang mesti ditelan setelah sarjana seperti yang dikemukakan Wiwi. Meskipun langkah selanjutnya memang akan terasa lebih tajam lagi. Keberhasilan memang butuh perjuangan yang lebih keras dibanding  dari apa yang ada dalam pikiran kita.
            Sebenarnya, yang mengakibatkan sarjanawan menjadi pengangguran dan bertaburan diberbagai sudut adalah, karena tidak adanya kerja sama antar universitas dan mahasiswa itu sendiri. Tanpa adanya ketegasan dari pihak universitas dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas, maka akan mengakibat kelumpuhan terhadap lulusan tersebut.  Paling tidak, mereka dapat membangun lapangan kerja sendiri tanpa harus  mengharapkan CPNS. Dengan demikian, peran universitas sangat dibutuhkan untuk menghapus adanya pengangguran tersebut. Dengan kata lain, universitas harus mensejajarkan antara kuantitas dan kualitas setiap mahasiswa. Universitas harus lebih jeli memfilter mahasiswa-mahasiswanya, demi menghasilkan mahasiswa yang berkualitas dari segi potensi dan skillnya.
            Dalam sambutannya Rektor Unhalu, Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS meminta kepada para dekan setiap fakultas  untuk bekerja sama menetaskan wisudawan berkualitas dan melacak lapangan kerja alumni sebagai wujud akuntabilitas universitas terhadap masyarakat. "Jangan sampai kita hanya mencetak pengangguran. Kita berupaya keras untuk melaksanakan pendidikan yang menghasilkan lulusan terbaik yang kreatif dalam mengadaptasi dunia kerja dalam berbagai dimensi kehidupan lainnya," kata Usman dihadapan para wisudawan yang juga dihadiri oleh Wakil Walikota Kendari, H. Musadar Mappasomba, Dekan, dan sejumlah guru besar.
           Ketua Forum Rektor Indonesia Periode Tahun 2012 juga, meminta kepada kepada alumnus yang telah bekerja di berbagai bidang kehidupan agar terus meningkatkan kinerja mereka. Hal ini, dapat memperlihatkan pertanggungjawabannya kepada masyarakat bahwa ahli muda, sarjana, dan magister lebih baik dari pada yang dikirakan. Sehingga, hal tersebut dapat dijadikan pleidoi bagi pernyataan ‘’wisuda mencetak pengangguran’. Rektor Universitas Haluoleo tersebut pun, memberitahukan  agar para wisudawan dapat tumbuh dan berkembang. Memanfaatkan skill yang diperoleh saat kuliah untuk dijadikan sebagai salah satu cara membunuh adanya pengangguran. Akhirnya, dengan begitu dapat mencetak generasi penerus pembangunan bangsa yang mengabdikan seluruh kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk kemaslahatan dan kesejahteraan Sulawesi Tenggara khususnya, kepentingan bangsa dan negara serta bagi kemanusiaan secara umum.

Wow wonderful!!! TOMIAKU, PUNYA SEMUANYA….

Oleh: Wa Ode Fitria (A1D1 09 027)

      Kalau ada yang menanyakan sebuah tempat yang bernama “Tomia”, mungkin sebagian bahkan tiga per empat dari seluruh orang pasti ada yang tak mengenalnya. Ya, hal tersebut sudah menjadi pasti. Tomia, bukanlah salah satu negara di dunia. Tomia bukan pula salah satu kota di sebuah negara. Tomia juga bukan kabupaten. Bahkan, bukan mustahil bahwa di peta dunia pun, Tomia malah mungkin tak terlihat, barangkali karena saking besar gambarnya. Atau mungkin, pada saat penggambaran peta dunia, ketika tiba saat giliran pulau Tomia yang akan di gambarkan, lantas tinta ballpoint si penggambar habis dan ia kemudian lupa untuk menyimpan sebuah titik saja di kaki kiri pulau Sulawesi.
       Tomia, hanyalah salah satu pulau kecil sedikit panjang yang melengkapi sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara yakni Wakatobi. Dari segi nama, Tomia menduduki posisi ketiga setelah Wanci dan Kaledupa yang kemudian di susul oleh  Binongko yang menempati kursi terakhir. Tomia hanya pulau kecil yang kini tengah melahirkan dua kecamatan kecil pula. Namun, jangan dilihat dari kecilnya Tomiaku, dan jangan dikira tak ada apa-apa di sana. Tidak juga banyak, namun tidak pula sedikit ragam bentuk yang dapat kita jumpai di sana. Mulai dari bermacam-macam tempat wisata hingga sampai kepada yang bukan tempat wisata.
        Kalau Bogor punya puncak, Tomia juga punya puncak. Kalau Bali punya Kuta sebagai pantai wisata, Tomia juga punya Kollo dan Untu yang pasirnya bak terigu yang termahal yang mungkin lebih putih dibanding Kuta. Kalau Bali punya resort tempat para turis nginep, jangan salah, Tomia juga punya Onemoba’a yang di diami oleh PT. Resort Wakatobi sebagai tempat menginap para wisatawan asing yang mencintai pantai.
       Ternyata Tomia tak kalah dengan salah satu pulau, bahkan hanya menyisahkan perbedaan yang cukup tipis dengan Bali. Tempat yang tidak asing di telinga siapapun kecuali bayi yang baru lahir. Tempat yang mungkin setiap orang bukan saja dari dalam Indonesia, luar Indonesia pun mengidamkannya, untuk sekedar menginjakkan kaki mereka di sana, merasakan betapa indah dan sejuknya pemandangan pantai dengan hamparan pasir putih yang memesona setiap kali alat indera penglihatan kita digunakan. Seperti juga Kuta, Tomiaku tak pernah membuat mata tak akan pernah lelah ketika dapat menumpahkan pandangan di sehamparan pulau-pulau kecil yang berendam di laut Banda, ketika kaki menjadi penopang badan berdiri dari atas puncak La Coro.
        Sungguh begitu menakjubkan, saya yakin bahwa yang berinisial ‘S’ dan berakhiran ‘S’ yakni stres tidak akan pernah kita jumpai dan bahkan tak mendapat tempat di sana. Begitupula  sederetan kawanan penyakit lainnya pun tak di izinkan ada di Tomiaku. Kalaupun pada suatu hari ada yang menemukan si penyakit itu, pasti si penyakit tersebut, meminjam paspos palsu milik Gayus untuk memasuki kawasan Tomiaku dengan paspor palsu Gayus yang dimilikinya  saat plesiran keluar negeri. Pastilah Gayus meminjamkannya, mengingat Gayus adalah sahabat bahkan sekawanan penyakit yang tengah merajalela di berbagai sudut-sudut, disetiap yang bersudut.
      Di Tomiaku, dekor pemandangannya, seakan membawa kita terbang bersama keindahan  yang tak terlukiskan itu. Bagaimana tidak, kita tidak perlu bersusah-susah menguras isi celengan kita untuk pergi ke Santorini- kota kecil di pinggiran Prancis -   untuk menyaksikan saat-saat romantis menantikan sunset turun memeluk malam. Kita dapat melakukannya di sana, di puncak La Coro, Tomiaku, yang tak pernah membatasi ruangnya untuk berbagi tempat, baik untuk sekedar melihat kicauan burung bernyanyi di angkasa, maupun menyaksikan peristiwa penting saat-saat perjumpaan siang yang merelakan dirinya digantikan dengan malam.
       Di Tomiaku, tak perlu menghabiskan dana bermilyar bahkan mungkin mencapai triliunan rupiah untuk membangun waterpool seperti di Ancol Jakarta. Tak pula semewah waterpool yang ada di kawasan bukit golf Mediterania. Di Tomiaku, telah disediakan alam, waterpool alamiah yang dijelma olehnya menjadi air jatuh yang tempatnya jauh dari perkampungan setelah puncak La Coro yang diberi nama Tomia. Alam Tomiaku telah menyediakan Te’e Wali sebagai salah satu permandian yang berlatarkan suasana gua yang diakrabi dengan tonjolan-tonjolan batu yang timbul dari dalam batu. Kemudian, dari sela-sela batu itu terpancarkan mata air bersih yang bahkan sejak dulu hingga sekarang telah menjadi penghidupan bagi masyarakat setempatnya dan menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat lainnya.
        Tidak hanya itu, di ujung timur sebuah perkampungan Tomia, muncul kembali permandian bernama Te’e Timu dengan mata air besar yang menganaki mata-mata air lain di sampingnya, yang ada jauh sebelum nenek moyang kami lahir. Tempat yang kini menjadi salah satu sumber air bersih, sumber kehidupan bagi masyarakat Kulati, karena tak di jangkaui air pam yang memang areanya berada jauh di perbukitan timur Tomia. Tak sejauh 500 Meter, dari Te’e Timu, ada sebuah tempat bersejarah. Tempat yang pernah digunakan ketika berlangsungnya ulang tahun kabupaten Wakatobi yang ke-4. Konon kabarnya moment itu dicatatkan dalam rekor muri, atas ajang bakar-bakar ikan terpanjang di dunia sepanjang 21 km. Menabjubkan bukan? Tentu !
       Diumur Tomia yang masih beranakkan satu kecamatan, bahkan sebelum tomia bergabung dengan Wanci, Kaledupa, dan Binongko untuk menjadi sebuah Kabupaten, sekitar 10 tahun lalu, sangat jelas disetiap ingatan masyarakat Tomia, bahwa Tomia telah memiliki Lapangan Terbang Maranggo. Meskipun tidak seluks bandara Soekarno-Hatta, dan meskipun hanya melayani penerbangan Tomia-Bali-Luar Negeri. Namun, suatu keunggulan yang diterobosi Tomia dalam persaingan modernisasi.
       Ah. . . Tomiaku punya semuanya, bukan hanya memiliki banyak tempat wisata. Dia juga melahirkan putra-putri yang bertalenta sekaligus berprestasi. Sejak zaman Djeni Hasmar sampai kepada zaman Hugua sekarang ini. Mereka adalah anak pulau yang bertanah kelahiran Tomia. Meskipun, Tomiaku kini belum memiliki Mall dan Gramedia. Namun, hal tersebut tak membuatnya menjadi terbelakang. Justru ia telah banyak menetaskan putra-putri yang berpotensi.
         Di salah satu tangan anak Tomia, proses publikasi tentang laut Tomia yang memang temasuk ke dalam segi tiga karang dunia bersama-sama Hawai dan Raja Ampat ini, kini telah menjadi konsumsi publik. Bahkan jauh dari luar negeri, mereka lebih mengenal pulau yang bernama Tomia ini, sebagai tempat wisata yang masih perawan, original, dan bahkan berdaya tarik lebih. Tak jarang mereka justeru mempublikasikan kepada sekawanannya di sana dan menjadikannya sebagai kebutuhan pokok setelah menyelesaikan pekerjaan mereka.
       Satu yang belum dimiliki Tomiaku, suasana ramai seperti di Bali yang menggambarkan kedayatarikkan pengunjung. Bukan karena, Tomiaku tak memliki daya tarik, akan tetapi masih perlu dipoles sedemikian rupa agar menjadi lebih tertarik lagi.
       Bisa saja jika Tomiaku disebut sebagai Bali wanna be, atau mungkin the twin puncak Bogor. Kerena di sana dia memiliki tiga per empat yang dimiliki Bali. Dia mempunyai satu puncak yang tak kalah memukau dengan puncak di Bogor. Jika Puncak Bogor membawa kita kepada nuansa hijau dengan berbagai macam jenis tanaman di sana, puncak La Coro menghadirkan potret padang rumput hijau dengan berpropertikan laut banda yang hijau rumput laut dan pulau-pulau kelapa mungil yang ranum berendam indah mengelilingi pulau Tomia. Langitnya pun masih biru hingga sekarang, namun tak pernah menjadikan biru di hati masyarakatnya.
Bersambung....

nah, ini dia gambar-gambar pemandangan di Tomia...
ini adalah gambar-gambar resortnya...nanti di postingan selanjutnya, aku update lagi gambar-gambarnya yang baru di TomiaKu yaa..Ok